Kurangnya perhatian dan kelekatan emosional dari orang tua tak jarang membuat anak mencari pelarian ke tempat lain, termasuk ke chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI).
Hanya dengan ponsel pintar, anak bisa merasa didengarkan, diterima, dan 'dimengerti' oleh teknologi yang merespons cepat dan tak pernah menghakimi.
Psikolog dari Eka Hospital Bekasi Annisa Axelta mengatakan, ada peran keluarga, khususnya orang tua yang kurang memberi perhatian di rumah, yang membuat anak mencari pelarian lain. Salah satunya melalui aplikasi AI, seperti ChatGPT dan aplikasi berbasis AI lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika anak merasa tidak mendapatkan cukup dukungan emosional di rumah, mereka cenderung mencari alternatif lain untuk mengisi kekosongan itu. Chatbot AI menjadi salah satu pelarian yang terlihat mudah dan langsung memberi respons," ujar Annisa kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Menurut Annisa, anak-anak dengan gangguan kecemasan atau kesepian sangat rentan memanfaatkan AI sebagai 'teman virtual'. Padahal, keterikatan semacam itu dapat menghambat kemampuan mereka dalam menghadapi emosi secara sehat.
"Anak jadi tidak belajar mengelola perasaan sulit seperti marah, kecewa, atau takut. Mereka hanya menekan perasaan itu dan 'melarikan diri' ke AI yang selalu merespons tanpa tantangan," jelasnya.
Alih-alih memperkuat hubungan sosial di dunia nyata, ketergantungan pada AI justru berisiko memutus hubungan nyata tersebut. Anak bisa merasa cukup hanya dengan interaksi digital, dan perlahan kehilangan dorongan untuk menjalin hubungan yang nyata dan bermakna dengan orang lain, termasuk keluarga mereka.
"Kalau ini terus berlanjut, kelekatan emosional anak terhadap manusia bisa menurun. Dalam jangka panjang, ini mengganggu perkembangan empati, kasih sayang, dan keterampilan membangun hubungan interpersonal," ujar Annisa.
Padahal jelas, AI tidak bisa menggantikan kehadiran orang tua. Tanpa pendampingan yang hangat dan aktif, anak justru berisiko mengalami gangguan psikologis, terutama jika AI digunakan secara berlebihan.
Hal lain yang juga menjadi kekhawatiran adalah potensi manipulasi oleh desain AI yang terlalu 'humanis'. Beberapa sistem bahkan diciptakan untuk membentuk hubungan emosional dengan pengguna.
"Interaksi yang terasa akrab bisa dimanfaatkan untuk mendorong perilaku tertentu, misalnya konsumsi, loyalitas terhadap produk, bahkan pola pikir yang menguntungkan pihak tertentu," jelas Annisa.
![]() |
Beberapa studi juga menunjukkan, penggunaan AI secara berlebihan bisa memicu peningkatan kecemasan, memperdalam kesepian, dan menurunkan kapasitas anak untuk pulih dari tekanan emosional. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini dapat mengikis kemampuan anak untuk mengelola emosi secara mandiri.
Annisa pun mengingatkan, hal ini sudah seharusnya menjadi alarm bagi para orang tua. Anak-anak tidak membutuhkan teknologi secanggih apapun jika kebutuhan emosional mereka terpenuhi di rumah.
"Cobalah mulai dengan pertanyaan sederhana seperti, 'Kamu sedih hari ini?' atau 'Apa yang bikin kamu senang minggu ini?' Buka ruang dialog, dengarkan keluhan anak tanpa langsung memberi solusi atau memarahi," ujar Annisa.
(tis/asr)