Pandemi Covid-19 tak hanya meninggalkan jejak pada kesehatan mental anak-anak, tapi juga penglihatan mereka. Mantan Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita Moeloek mengungkapkan, kasus gangguan penglihatan pada anak usia sekolah meningkat tajam setelah masa pembelajaran jarak jauh yang kerap digelar di masa pandemi Covid-19.
"Selama pandemi, anak-anak banyak belajar dari rumah dan menggunakan gawai untuk waktu yang lama. Kebiasaan ini membuat mereka lebih sering melihat jarak dekat, yang berdampak pada pertumbuhan bola mata menjadi lebih panjang atau dikenal dengan mata minus," ujar Nila dalam kegiatan uji publik inovasi pemeriksaan kesehatan mata dan jiwa anak yang digelar Cermata di Jakarta, Kamis (10/10).
Menurut Nila, bola mata yang ideal berbentuk bulat sempurna dengan diameter sekitar 22 milimeter. Namun, berbagai faktor seperti pencahayaan yang kurang, struktur rongga mata yang kecil, hingga kebiasaan melihat layar dalam jarak dekat bisa membuat bola mata memanjang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bola mata yang memanjang menyebabkan cahaya tidak jatuh tepat pada saraf mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Jika tidak ditangani, kondisi ini bisa memperburuk kemampuan belajar anak," jelasnya.
Penelitian yang dilakukan bersama Satuan Penanggulangan Gangguan Refraksi (SPGR) da Cermata menemukan bahwa sekitar 40 persen anak sekolah dasar di Jakarta mengalami gangguan penglihatan. Angka ini melonjak tajam dibandingkan sebelum pandemi yang hanya berkisar 13-15 persen.
"Kondisi ini mengkhawatirkan karena memengaruhi kemampuan anak untuk belajar. Banyak anak yang tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas dan akhirnya dianggap tidak fokus atau nakal di kelas," tutur Nila.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa pemberian kacamata sederhana terbukti dapat meningkatkan prestasi akademik anak.
"Setelah diberi kacamata, mereka bisa belajar dengan nyaman dan nilai rapornya meningkat," katanya.
Nila berharap, hasil penelitian ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, guru, dan orang tua agar lebih peduli terhadap kesehatan mata anak sejak dini. Pemeriksaan mata, menurutnya, perlu dijadikan bagian dari pemeriksaan dasar di sekolah.
"Skrining kesehatan mata perlu menjadi bagian dari pemeriksaan dasar anak sekolah, sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini," tegasnya.
Tak hanya itu, tim dokter mata Indonesia bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah mengembangkan inovasi digital untuk pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan telepon genggam.
"Teknologi ini bisa digunakan untuk skrining awal tanpa perlu alat optik mahal. Dengan ponsel yang dimiliki hampir semua orang, pemeriksaan mata dapat dilakukan di sekolah-sekolah dan puskesmas dengan cepat dan murah," ujar Nila.
Dengan meningkatnya kasus gangguan penglihatan hingga 40 persen, Nila menilai penting bagi semua pihak untuk tidak menganggap remeh kesehatan mata anak.
"Jika dibiarkan, masalah kecil seperti mata minus bisa berdampak besar pada masa depan anak dan kualitas sumber daya manusia kita," tutupnya.
(tis/tis)