Jakarta, CNN Indonesia -- Sejarah tak bisa hanya didokumentasikan lewat memori. Butuh media untuk mengabadikannya. Jika buku terlalu sulit dipahami karena berkaitan dengan budaya membaca, maka ada film yang jauh lebih menjangkau khalayak. Belakangan, banyak bermunculan film-film yang berkaitan dengan sejarah.
Tak hanya menjadikannya latar, sutradara dalam negeri bahkan berani memunculkan kembali tokoh-tokoh masa lalu. Terakhir, sutradara kawakan Garin Nugroho berniat mengangkat kisah hidup tokoh pergerakan HOS Tjokroaminoto ke layar lebar. Sosok itu pernah menjadi guru bagi presiden Soekarno.
Jauh sebelum HOS Tjokroaminoto yang segera digarap, berikut film-film biopik Indonesia yang pernah muncul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gie (2005)“Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan”. Kata-kata Soe Hok Gie, mahasiswa Sastra-Sejarah Universitas Indonesia itu sangat melegenda. Gie bukan mahasiswa biasa. Ia aktivis kritis, yang berani bersuara saat ada yang bertentangan dengan kata hatinya. Seperti saat ia diberi nilai jelek oleh gurunya, atau ketika ia melihat fakta muram di kampus dan menulis
Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah.
Sejak kecil Gie banyak membaca, juga menulis. Tulisan-tulisannya belakangan diterbitkan dalam buku Catatan Harian Seorang Demonstran. Dari situ, sutradara Riri Riza perlahan menyatukan kepingan kehidupan Gie dan membuatnya menjadi film layar lebar. Nicholas Saputra didapuk sebagai pemeran utamanya. Gie remaja, diperankan Jonathan Mulia.
Berpusat pada sosok Gie, film itu juga menghadirkan suasana Indonesia tahun 1940-an sampai 1960-an, termasuk soal dekrit presiden Soekarno dan peristiwa G30S tahun 1965.
Sang Pencerah (2010)Setelah lama tak ada film biopik, Hanung Bramantyo akhirnya membawa kehidupan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ke layar lebar. Ahmad Dahlan diperankan aktor kawakan Lukman Sardi.
Meski terkesan religius karena membahas perjuangan Darwis alias Ahmad Dahlan yang mengkritisi pelaksanaan syariat Islam, pendirian Muhammadiyah menorehkan sejarah bagi perjuangan Indonesia.
Sosok Ahmad Dahlan menonjol setelah ia pulang menimba ilmu dari Mekkah. Ia mengusulkan perubahan arah Kakbah, menyindir kebiasaan berdoa yang syirik, bahkan mendirikan sekolah yang murid-muridnya duduk di bangku seperti Belanda. Tak ayal, Ahmad Dahlan dianggap kafir. Sekolahnya pun sampai dihancurkan.
Bersama lima muridnya, Ahmad Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah. Tujuannya sederhana, mengajak umat Islam berpikir maju sesuai perkembangan zaman. Kelak, organisasi buatannya itu turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Soegija (2012)Sutradara Garin Nugroho turut meramaikan film biopik di tanah air dengan kisah soal Seogija, uskup legendaris di Indonesia. Saat menyuguhkan perjalanan hidup seorang uskup ke tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, Garin sadar betul filmnya sama sekali tidak komersial. Pada
CNN Indonesia ia pernah mengaku, tujuannya hanya menyajikan ragam perjuangan yang mewarnai sejarah bangsa.
Soegija menarik karena ia pribumi pertama yang dilantik menjadi Uskup Danaba. Ia dihormati penduduk lokal dan Belanda. Namun, Soegija yang dalam film diperankan Nirwan Dewanto, tidak lantas terlena. Ia tetap menjunjung tinggi kepentingan rakyatnya. Saat penjajah meminta gereja dijadikan markas mereka, ia menolak.
“Penggal dulu kepala saya,” katanya tegas.
Soegija dikenal dengan diplomasi diam-diamnya. Ia tak pernah terjun langsung dalam perang. Soegija tidak akrab dengan kekerasan dan senjata. Namun semangat kemanusiaannya akhirnya membuat Soegija menjadi uskup pribumi pertama yang dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Soekarno.
Habibie & Ainun (2012)Secara fisik, Reza Rahadian memang sama sekali tak mirip dengan BJ Habibie. Namun ia berhasil menyuguhkan karakter dan kebiasaan detail mantan presiden Indonesia itu ke hadapan publik. Habibie bahkan memuji akting Reza dengan predikat ‘
cum laude’. Bunga Citra Lestari yang memerankan Ainun, juga mendapat pujian.
Film garapan sutradara Faozan Rizal itu mengadaptasi buku
Habibie & Ainun yang ditulis sendiri oleh Habibie. Sisi kemanusiaan Habibie, rasa cinta dan sayangnya pada istri serta keluarga, sangat ditonjolkan. Meski begitu, potret Indonesia di rezim Habibie tidak dieliminasi. Faozan berani menampilkan fenomena korupsi dan kongkalikong penguasa serta pengusaha.
Habibie & Ainun sukses menjadi salah satu acuan film biopik Indonesia. Sebab, film itu tidak hanya menampilkan kedua sosok secara permukaan. Banyak detail yang tidak diketahui masyarakat soal hidup Habibie, termasuk bagaimana ia jatuh cinta pada Ainun dan kesedihan saat harus kehilangan sosoknya.
Jokowi (2013)Fenomena Jokowi yang mencuat dari orang biasa menjadi Walikota Solo dan akhirnya Gubernur DKI Jakarta, membuat rumah produksi K2K Pictures tertarik memfilmkannya. Mereka menggandeng sutradara Azhar Kinoi Lubis. Teuku Rifnu Wikana menjadi Jokowi, sedang Iriana diperankan aktris Prisia Nasution.
Film itu mengisahkan perjalanan Joko Widodo, atau yang belakangan lebih dikenal sebagai Jokowi, sejak kecil. Meski hidupnya tidak berkecukupan, anak tukang kayu itu tetap bermimpi sekolah tinggi. Sosok Notomiharjo, sang ayah yang juga guru dan sahabatnya, menjadi motivasi. Jokowi akhirnya menjadi sosok besar yang menginspirasi. Tak ketinggalan, bumbu cerita dengan Iriana, teman sekolah adik Jokowi, juga ditampilkan.
Butuh riset panjang untuk membuat film itu. Tim produksi sampai mendatangi rumah masa kecil Jokowi dan berbincang dengan ibunda dan anggota keluarga lainnya.
Kini, rumah produksi yang sama akan memproduksi film
Jokowi Adalah Kita, yang mengisahkan keseharian Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai jadi presiden Indonesia terpilih.
Sang Kiai (2013)Kalau Hanung mengangkat kisah Ahmad Dahlan dan pendirian Muhammadiyah, dalam
Sang Kiai sutradara Rako Prijanto menampilkan KH Hasyim Asyari sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dari Jombang. Film itu dibintangi Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, dan Adipati Dolken.
Film diawali kegelisahan Hasyim Asyari atas perintah Jepang untuk menyembah matahari. Ia protes dan akhirnya ditangkap. Lewat jalan diplomasi ia akhirnya dibebaskan. Namun, perjuangan masih berlanjut. Hasyim Asyari diminta presiden Soekarno membantu mempertahankan kemerdekaan.
Di situlah ia kemudian berperan. Ia menelurkan Resolusi Jihad, yang membuat santri dan penduduk Surabaya berbulat tekad melawan penjajah. Gema Resolusi Jihad Hasyim Asyari membuat masyarakat berani mati.
Soekarno: Indonesia Merdeka (2013)Meski diwarnai konflik antara rumah produksi Multivision Plus dan Rachmawati Soekarnoputri, film
Soekarno: Indonesia Merdeka tetap diputar dan mendapat sambutan positif. Film garapan Hanung Bramantyo itu seakan mampu memantikkan kembali api nasionalisme dalam diri masyarakat Indonesia.
Ario Bayu didapuk memerankan Soekarno dewasa. Lukman Sardi menjadi Mohammad Hatta, Tanta Ginting sebagai Sjahrir, Maudy Kusnaedi menjadi Inggit Garnasih, dan Tika Bravani sebagai Fatmawati.
Film itu tidak hanya mengingatkan masyarakat akan perjuangan Soekarno dan Hatta sebagai Bapak Bangsa. Hanung juga mengajak penonton menyelami kehidupan pribadi Soekarno. Bagaimana ia memandang wanita, hormatnya pada orangtua, pemikirannya terhadap penjajah, juga kemampuannya berorasi.
Berbagai buku dilahap Hanung demi menghadirkan sosok Soekarno sesungguhnya. Agustus tahun ini, versi
extended film
Soekarno: Indonesia Merdeka kembali ditayangkan.
Hijrah Cinta (2014)Sosok Ustad Jefry Al-Buchory atau akrab disapa Uje, begitu dicintai masyarakat Indonesia. Tak terperikan berapa jumlah orang yang mengantarkan kepergian Uje ke peristirahatan terakhirnya di tanah Karet tahun lalu.
Perjalanan spiritual Uje, meski ia bukan pahlawan nasional, pun menarik perhatian banyak kalangan. Uje tak terlahir dengan iman kuat lantas menjadi alim ulama. Ia pernah gaul, bahkan terlena dengan kehidupan malam dan obat-obatan. Kunjungan ke Tanah Suci yang akhirnya menyadarkan ustad gaul itu.
Sutradara Indra Gunawan menjadikannya film, yang tayang tak jauh dari hari lebaran tahun ini. Hanung Bramantyo menjadi penulis naskahnya. Alfie Alfandy memerankan Uje, sedang sang istri, Pipik Dian Irawati diperankan Revalina S. Temat. Keduanya menghadirkan kisah penuh haru ke hadapan penonton.