FILM DOKUMENTER

Memotret Humanisme Konflik Suriah

CNN Indonesia
Rabu, 24 Sep 2014 15:28 WIB
Di tengah konflik Suriah, seorang sineas Amerika memotret humanisme keperempuanan di negara itu lewat sebuah film dokumenter.
Konflik
Jakarta, CNN Indonesia -- Konflik di Suriah terus memanas. Ditambah lagi, sekarang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) muncul meneror dunia. Masalah itu sampai mendapat tempat khusus dalam perbincangan di PBB. Salah satu sineas Amerika, Andrea Kalin bahkan menunda seluruh proyeknya demi memfilmkan konflik Suriah.

Kalin membuat dokumenter berjudul Red Lines. Isinya merupakan rekam perjalanannya selama tiga tahun belakangan ke Suriah. Kalin tidak sendiri. Ia bersama Mouaz Moustafa dan seorang aktivis bernama Razan Shalab al-Sham, ketua pejuang hak-hak wanita di Suriah.

Kalin sendiri bertemu Moustafa di Washington DC. Ia merupakan kepala Syrian Emergency Task Force, lembaga nirlaba pro-demokrasi yang mendukung kelompok-kelompok yang protes damai sejak awal 2011. Sekarang, Moustafa merupakan warga negara Amerika Serikat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dia mendukung kepentingan umum. Di saat yang sama, dia juga mendukung perdamaian bagi masyarakat sipil," ujar Kalin dalam wawancara telepon dengan Thomson Reuters Foundation. Menurut sutradara film dokumenter itu, Moustafa punya sikap dan prinsip yang menarik.

"Dia memberi peringatan pada militer Amerika. 'Jika tidak mendukung oposisi dan bersikap lunak, mereka akan dikendalikan oleh kaum ekstremis.' Dia mengatakan itu tiga tahun lalu," kata Kalin lagi.

Atas dasar penasaran akan kehidupan dan pandangan Moustafa, Kalin pun memfokuskan lensanya pada penggarapan film soal Suriah. Kalin memulainya tanpa dana, bahkan tanpa konsep. Ia hanya melihat kisah penting di matanya, dan tanpa berpikir panjang langsung menangkap kesempatan itu.

Oleh Moustafa, Kalin dikenalkan pada Razan. Pemuda itu punya kisah yang lebih menarik. Dari Suriah, ia melarikan diri ke Turki. Ia telah kenyang melakoni perjalanan berbahaya. Saat itu, Razan meminta bantuan jaringan aktivis yang biasa menyelundupkan obat untuk kelompok oposisi.

Kalin membangun kedekatan dengan dua sumber utamanya. Setelah mendapat kepercayaan, mantan jurnalis radio itu akhirnya membawa lensa kameranya ke Suriah. Adegan demi adegan, ia berhasil menangkap berbagai momen langka, kisah yang tak pernah dicapai media biasa.

Kepada Reuters Kalin mengaku, kepergiannya ke Suriah tanpa sepengetahuan Kedutaan Amerika Serikat. Perjalanannya tidak legal. Ia hanya dibantu rekan sutradaranya, Oliver Lukacs.

"Kami tidak pergi dengan pelengkap keamanan, kami tidak punya asuransi. Kami bergerilya dengan kamera kami," katanya menjelaskan. Kuncinya hanya soal membangun hubungan dengan masyarakat lokal. "Kepercayaan sangat penting untuk mendapatkan akses," ia melanjutkan.

Senandung perubahan

Pergolakan Suriah yang dipotret Kalin, terutama adalah mengenai keperempuanan dalam tatanan tradisional. Sebelum pemberontakan, tidak ada wanita di Suriah yang memegang posisi dewan.

Razan dan rekan-rekan aktivisnya berharap, itu bisa berubah. Mereka mendorong wanita terjun ke politik, dan berkontribusi membangun masyarakat. Razan melakukan beberapa sesi pelatihan.

Akhirnya, banyak wanita Suriah melintasi perbatasan demi bergabung dengan sesi itu. Pelatihan pun dilakukan secara gerilya. "Di kamar hotel suram yang khas, dengan stiker Disney di dinding, bahkan mereka membuat kotak suara dari kardus anggur," tutur Kalin menceritakan.

Itu membuat Kalin tersentuh. Ia trenyuh saat melihat banyak pemuda yang rela mengorbankan segalanya, bahkan menempuh perjalanan berbahaya, demi perubahan. Dari mereka, ia paham betul betapa pentingnya demokrasi. Ia berharap, filmnya bisa turut andil membuat perubahan.

"Banyak pemuda menginginkan hal yang sama seperti yang kita miliki di Barat, yang kita anggap biasa. Tapi situasi politik sulit untuk mengubahnya," ujarnya prihatin.

Red Lines akan diputar di bioskop Rich Mix, London Timur, Kamis (25/9).

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER