Jakarta, CNN Indonesia --
Di balik laki-laki hebat, pasti ada perempuan yang lebih hebat.Pesan itu yang ingin disampaikan sutradara Rako Prijanto lewat film
3 Nafas Likas. Film itu mengisahkan Likas Tarigan, seorang perempuan Karo yang menjadi istri Letjen Djamin Ginting.
Likas perempuan cerdas. Pendidikannya tinggi, pemikirannya hebat. Hidupnya kemudian ia dedikasikan untuk mendampingi seorang pejuang kemerdekaan. Ia tinggal berpindah-pindah, hidup tidak selalu bergelimang kemewahan harta. Likas bertahan, bahkan menguatkan suaminya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dihubungi CNN Indonesia, Selasa (14/10) malam Rako menuturkan, ia tak perlu waktu lama untuk memutuskan membawa tokoh Likas ke layar lebar. Hanya tiga hari setelah membaca biografi Likas Tarigan, ia langsung mengatakan “ya”. Menurutnya, kisah Likas sangat inspiratif dan komersil.
“Likas ini dari kacamata perempuan. Dia mewakili perempuan masa itu, antara 1930 sampai 2000-an. Dia dekat dengan penonton, karena yang didampingi bukan pahlawan besar,” kata Rako.
Ia langsung bertemu dengan produser Reza Hidayat dan penulis skenario Titien Wattimena. “Kami memilih adegan yang penting.
Point of view-nya, bagaimana Likas bisa
related dengan perempuan dari segala umur. Mulai dia kecil, remaja, sampai dewasa. Jadilah empat
draft,” tuturnya bercerita.
Setelah mengadakan
casting dan memilih pemain, film langsung dibuat. Prosesnya tidak lama, hanya 38 hari di Sumatera Utara dan 10 hari di Ottawa. Rako mengaku tak banyak kesulitan.
“Paling yang tersulit itu memahami budaya Karo, sosiologinya, belajar budaya era itu,” ucap Rako menyebutkan. Selain itu, ia juga kesulitan soal properti. Sebab, ia harus menyediakan berbagai otomotif yang mewakili tahun 1930-an. “Panser, mobil, angkutan umum,” ujarnya.
Beruntung, soal panser Rako mendapat bantuan dari Pangdam Bukit Barisan.
“Soal lokasi juga sulit. Likas itu tinggal berpindah-pindah. Mencari geografis yang autentik itu susah. Kami memindahkan lokasi ke tempat lain, tapi harus mencari yang ada rumah adat Karonya,” kata Rako menjelaskan. Jadilah ia syuting di Desa Dokan dan sebuah kampung di Binjai, Sumatera Utara.
“Pokoknya kami cari yang latarnya mirip dengan tahun 1930-an. Belum ada listrik dan jalan,” ujar Rako melanjutkan. Meski kesulitan di beberapa hal, ia yakin filmnya bakal sukses karena konten cerita yang bagus dan komersil.