Jakarta, CNN Indonesia -- Joko Widodo pernah berjanji mengembangkan ekonomi kreatif, salah satunya berencana membentuk Kementerian Ekonomi Kreatif. Hingga kini, pengembangan ekonomi kreatif masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru.
Kurator dan produser independen Yudhi Soerjoatmodjo berpendapat, permasalahan utama dalam bidang ekonomi kreatif adalah pengelolaan. Birokrasi yang gemuk turut menghambat karena prosedur jadi berbelit-belit.
"Belum ada perlindungan dari pemerintah kepada pelaku industri kreatif," kata Yudhi saat diwawancarai CNN Indonesia melalui sambungan telepon, kemarin (24/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal ekonomi kreatif menyumbang kontribusi yang besar bagi Produk Domestik Bruto negeri ini. Seperti dilansir situs
parekraf.go.id, kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian mencapai Rp 641,8 triliun atau tujuh persen PDB nasional.
Ekonomi Kreatif juga mencatat surplus perdagangan selama periode 2010-2013 dengan nilai sebesar Rp 118 triliun. Kontribusi devisa dari sektor ekonomi kreatif mencapai US$ 11,89 miliar atau sekitar Rp 143 triliun.
Total sektor pariwisata dan ekonomi kreatif menyumbang devisa sebesar USD 21,95 miliar (sekitar Rp 264 triliun) atau berkontribusi sebesar 11,04 persen pada total devisa Indonesia. Hal ini menunjukkan nilai transaksi ekonomi kreatif signifikan.
Namun menurut Yudhi, regulasi pemerintah yang pro pebisnis yang bergerak di bidang ekonomi kreatif masih minim. Mendekati pasar bebas 2015, sosialisasi terkait ekonomi kreatif pun dirasakan kurang aktif.
"Kami tidak tahu negara mana saja yang masih terbuka peluangnya, berapa nilainya, serta bagaimana regulasi yang diterapkan. Seharusnya perwakilan Indonesia di luar negeri dapat memfasilitasi informasi seputar itu," kata Yudhi.
Jangankan bicara persaingan dengan negara asing, masalah di Indonesia saja masih menggunung. Lagi-lagi, karena regulasi yang tak berpihak pada pelaku industri kreatif.
"Sering kali klien pelaku industri kreatif baru membayarkan upah beberapa bulan kemudian. Kami tidak bisa menuntut karena lemahnya regulasi," kata Yudhi menjelaskan. Karenanya, daya tawar pelaku industri kreatif dinilai masih rapuh.
Pelaku ekonomi kreatif pun kerap kesulitan meminta bantuan bank. "Pengusaha batik mungkin lebih mudah mendapatkan bantuan karena produksinya rutin. Namun pengusaha
games seringkali kesulitan karena produksinya tak rutin," tutur Yudhi.
Pria yang berpengalaman lebih dari 15 tahun di ranah ekonomi kreatif ini mengatakan perlunya regulasi pemerintah yang menguntungkan pelaku industri kreatif dalam hal pendanaan.
"Misalnya, mereka dibebaskan membayar pajak sekian persen asalkan mengalokasikan uang tersebut untuk melakukan inovasi," katanya memberi saran.
Selain itu, ia berpendapat sebaiknya kementerian industri kreatif dan kebudayaan digabung karena saling berkaitan. "Kebudayaan itu luas, bukan hanya soal batik atau candi. Pelaku industri kreatif bergerak di aspek kultural," katanya.
Ekonomi kreatif tak melulu soal transaksiLebih jauh, Yudhi menjelaskan ada aspek lain dari ekonomi kreatif yang sangat penting untuk dikembangkan, yaitu ekonomi kreatif yang punya tujuan utama mengembangkan kapital, bukan transaksi.
Ia menjelaskan ada tiga jenis kapital, yaitu kapital intelektual, kultural dan sosial. Kapital ini tidak bertujuan utama pada transaksi, melainkan investasi dan penyampaian suatu pesan tertentu.
"Bila ingin punya ekonomi kreatif yang kuat, aspek kapital harus dibangun," katanya. Aspek kapital adalah fondasi bagi ekonomi kreatif yang mapan. Awalnya memang bersifat kapital, tapi suatu saat bisa menciptakan nilai ekonomis.
"Misalnya, candi Borobudur pada awalnya tidak ada unsur kapital. Ia diciptakan sebagai wujud kebersamaan masyarakat. Namun kini, nilai transaksinya sangat besar, baik pariwisata, buku, film, dan lainnya," kata pria yang menekuni pengembangan museum.
Dewasa ini, kapital tak lain adalah investasi. Perusahaan besar bukan hanya berfokus di unsur transaksi, tetapi juga inovasi. "Perusahaan besar telepon pintar mungkin melakukan riset dan inovasi belasan tahun sampai akhirnya menghasilkan produk yang kini laku keras," kata Yudhi soal kapital intelektual.
Untuk kapital kultural, ia memuji Singapura. Program-program budaya dan galeri benar-benar dikembangkan sehingga menarik minat orang melancong ke Negeri Singa. Pengembangan Marina Bay juga dianggapnya langkah berhasil.
"Akhirnya, banyak orang yang berminat membuka bisnis di Singapura. Acara-acara besar dilakukan di sana dan dihadiri orang-orang penting," kata pehobi fotografi dan sepeda ini.
Di sisi lain, yang tak boleh luput dari perhatian pemerintah adalah kapital sosial. Orang-orang kreatif yang bergerak di aspek ini mengembangkan diskusi serta dialog yang tak jarang menyentuh persoalan politik, sosial dan budaya. "Mereka mengajak masyarakat untuk toleran dan berwawasan," katanya.
Sayangnya, hingga kini, posisi pelaku ekonomi kreatif di bidang kapital masih terlewatkan. "Pemetaan ekonomi kreatif jenis ini belum ada. Mereka sering diundang ke luar negeri karena karyanya, tetapi apakah bisa dihitung ekspor?"
Ruwetnya pengelolaan, besarnya negara Indonesia, serta belum mapannya sistem dan regulasi di bidang ekonomi kreatif menambah daftar panjang pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Posisi kita saat ini hanya mengutamakan aspek transaksional. Aspek kapital sangat terabaikan," kata Yudhi, prihatin. Adapun sebagai pelaku industri kreatif, ia telah melakukan aspek kapital.
"Saya bekerja sama dengan Teater Koma untuk menghidupkan museum. Target kami adalah kelas menengah yang cinta museum tetapi sudah jarang ke museum," kata Yudhi. Menurutnya, program ini dapat pula mengajak anak-anak untuk cinta museum. "Malah sekarang anak-anak yang mengajak orang tuanya untuk ke museum," kata Yudhi seraya mengakhiri pembicaraan.
Visi tinggi dibarengi kerja kerasDitemui di kesempatan berbeda di ruang kerjanya, Sapta Nirwandar yang menjabat Wamenparekraf (di era SBY) menilai, pemerintah baru memiliki visi pariwisata yang cukup tinggi, termasuk soal ekonomi kreatif.
“Tentunya kita harus kerja keras,” katanya. “Infrastruktur harus diperbaiki di daerah, aksesibilitas laut udara darat. Kemudahan pelayanan juga harus ditingkatkan. Juga objek wisata harus diperbaiki.”
Dalam pandangannya, pariwisata dan ekonomi kreatif merupakan satu sinergi yang baik. Pariwisata memerlukan dukungan ekonomi kreatif. “Tanpa dukungan itu kita tidak optimum sampai tingkat yang bisa memberikan kepuasan pada konsumen kita.”
Sapta mengumpamakan, kebutuhan wisawatan untuk makan dan minum merupakan bagian ekonomi kreatif—
culinary. “Setiap wisatawan pasti butuh restoran dalam arti luas, juga hotel, hiburan dan lain lain.”
Sapta mencontohkan, penganan moci yang dibungkus ala kadarnya dengan plastik tentu kalah menarik dibanding moci yang dikemas dalam kotak karton berdesain khusus. Hal ini membuktikan, industri kreatif di ranah kuliner memberikan nilai tambah.
Untuk itu, Sapta menegaskan, sektor pariwisata dan ekonomi kreatif harus bersinergi. Tapi tetap yang memberikan dampak adalah pariwisata, karena inilah yang mendatangkan tamu. Dalam pengertian ini, pariwisata memimpin sekaligus butuh dukungan sektor lain.
Lebih jauh, Sapta menerangkan tentang ekonomi kreatif yang memiliki sekitar 16 subsektor. Umpamanya, ekonomi kreatif berbasis budaya atau teknologi. Lalu, ada juga yang merupakan gabungan:
basic-nya teknologi, tapi kontennya budaya.
Adanya 16 subsektor ekonomi kreatif ini memberikan dampak yang besar bagi perekonomian bangsa karena nilai tambahnya cukup tinggi. Pemerintah wajib mendorong pertumbuhan industri kreatif yang mana memudahkan sektor pariwisata.
Sapta mengakui, industri kreatif memang luas sekali, dari fesyen sampai teknologi. Maka dikerucutkan sektor mana yang paling dekat dengan pariwisata. Kerja sama pun dijalin dengan pihak
private sector maupun BUMN dan universitas.
“Kalau kita lihat metode pengembangan ekonomi kreatif itu disebut
quadruple helix, empat pendekatan utama. Ke-satu, kerja sama pemerintah pusat dengan kreator. Ke-dua, dengan pendidikan. Ke-tiga, dengan pemda tingkat dua. Ke-empat, komunitas.
Bila ditotal, maka pekerjaan rumah kementerian yang kelak membidangi ekonomi kreatif bakal semakin membuncah. Di antaranya, berkompetensi dalam pengelolaan, pengembangan kapital, sampai pengembangan dengan metode
quadruple helix ini.