MENGENANG SITOR SITUMORANG

Sitor Situmorang, Manusia yang Bukan Manusia

CNN Indonesia
Senin, 22 Des 2014 12:12 WIB
Semasa hidup, sang "penulis berbahaya" menggugat esensi dirinya yang dianalogikan sebagai barang, seakan tidak memiliki jiwa, pikiran, dan kebebasan.
Sitor Situmorang, sang penulis "berbahaya." (CNNIndonesia Free Watermark/J. Muh. Arsath Rois)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sang “penulis berbahaya” telah tiada. Ia menutup mata untuk selama-lamanya pada Minggu kemarin (20/12) di Belanda, di usia 91 tahun. Lama bermukim di luar negeri, namun tak melunturkan akarnya sebagai pria Batak sejati.

(Baca Juga: Putra Toba Penggawa Sastrawan 45)

Sitor layak disebut “berbahaya,” karena menurut Suma Mihardja, rezim Orde Baru takut pada sang penulis. Mantan Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menangani Peristiwa 65 ini pernah menangani kasus Sitor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pengantar buku Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno, karya Nani Nurani Affandi, Suma menyinggung pengalaman Sitor ditahan oleh rezim Orde Baru, lalu dikembalikan dalam keadaan hidup.

“Pada saat itulah dia merasakan bagaimana rasanya menjadi ‘barang’ yang diserahterimakan dari pihak penahannya ke pihak keluarganya,” demikian ditulis oleh Suma, seraya menganalogikan Sitor tak ubahnya mobil.

Sitor menggugat esensi dirinya yang dianalogikan sebagai barang, seakan tidak memiliki jiwa, pikiran, dan kebebasan. Suma memahami perasaan Sitor ketika itu yang dijadikan komoditas politik Orde Baru.

Suma menuliskan, rezim Orde Baru takut terhadap Sitor. Bila sudah begitu, rezim ini siap memberangus siapa saja yang dianggap membahayakan kekuasaan, sekalipun ia “hanya” seorang penulis.

“Saya bukan orang politik,” kata Sitor semasa hidup dalam wawancara dengan sebuah media cetak, beberapa waktu lalu. “Saya aktif dengan cara saya, tetapi tidak berambisi jadi anggota Parlemen."

Selama kebebasannya terbelenggu, Sitor merasa dirinya manusia yang bukan manusia. Padahal sesungguhnya, sebagaimana ditulis oleh Suma, esensi menjadi “orang” adalah esensi kemanusiaan yang mendasar.

Sitor lahir Harianboho, Sumatra Utara, 2 Oktober 1923. Dikenal sebagai penulis multitalenta yang melahirkan seabrek karya, dari puisi, esai, cerita pendek (cerpen), juga jurnalisme dan kritik sastra, di sejumlah media cetak.

Sempat menempuh pendidikan sinematografi di University of California (1956–57), namun agaknya ranah sastra lebih menarik minatnya. Usai merilis puisi pertama Kaliurang (1948), ide-ide berikutnya seolah tak terbendung.

Era 1950-an, Sitor hijrah ke Eropa untuk melanjutkan studi, dan merilis kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954). Satu dekade kemudian, ia dipenjara oleh rezim Orde Baru, dan dibebaskan pada 1976, tanpa prose pengadilan.

Bebas merdeka, Sitor kembali aktif menulis, hingga lanjut usia. Satu dekade lalu, ia merilis Lembah Kekal (2004) dan Biksu Tak Berjubah (2004). Ia juga sempat mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2010.

“Ketika otak tak lagi berpikir, pikiran tak lagi bekerja, maka kehidupan pun tak lagi berjalan,” kata Sitor saat merayakan ulang tahun ke-85 di Erasmus Huis, Jakarta. Agaknya tak ada yang mampu menghalangi ide-ide sang "penulis berbahaya."

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER