MENGENANG SITOR SITUMORANG

Putra Toba Penggawa Sastrawan 45

CNN Indonesia
Minggu, 21 Des 2014 16:11 WIB
Sitor Situmorang menghembuskan napas terakhirnya pada Minggu (21/12) di Belanda pada usia 91 tahun.
Sastrawan angkatan '45 Sitor Situmorang. (CNN Indonesia/ Dok. J. Muh. Arsath Rois)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di usianya yang sangat belia, 19 tahun, Sitor Situmorang menjadi Pemimpin Redaksi harian Suara nasional terbitan Sibolga. Padahal sebelumnya, belum pernah sama sekali Sitor muda mengenal dunia jurnalistik. Namun di kemudian hari, Sitor Situmorang lebih dikenal sebagai sastrawan angkatan '45.

Nama besarnya sebagai wartawan sempat menjadi buah bibir hingga tingkat dunia. Berbekal tuksedo pinjaman Rosihan Anwar, Sitor mewawancarai Sultan Hamid. Hamid adalah tokoh negara federal bentukan negara Belanda.

Dia diplot menjadi tokoh federal dengan maksud memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara boneka dalam wadah negara federal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain berhasil menembus narasumber penting Sultan Hamid, Sitor pun sempat melontar pertanyaan prinsipil. “Bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia?” Hamid menjawab, “Oh terang Republik itu ada, tidak bisa dianggap tidak ada.”

Wawancara tersebut menggemparkan dunia asing. Isi wawancara Sitor kepada Sultan Hamid menjadi tajuk utama di sejumlah kantor berita asing. Dari situ, eksistensi NKRI kian mantap.

Pada tahun 1950-an, Sitor kembali dari Eropa sebagai wartawan. Dia putuskan untuk berhenti dan memilih jalan hidup sebagai sastrawan. Pada 1953, kumpulan puisi pertamanya terbit. Poestaka Rakjat pimpinan Sultan Takdir Alisjahbana adalah penerbit karnya tersebut.

Begitu kuat ingatan Sitor terhadap setiap karya puisinya. Sahabat-sahabatnya yang juga sastrawan, seperti Arifin C. Noor, W.S Rendra menyapanya dengan melafalkan petikan puisi Sitor. Dari sapaan salam itu pula Sitor mengenal nama dan identitas orang yang menyapanya. Karya-karya Sitor menghiasi panggung sastra Indonesia.

Di antara karyanya adalah, Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya  John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Menghuni Gang Tengah Salemba

Esainya Sastra Revolusioner itu lah yang mengakibatkan Sitor mendekam di penjara Gang Tengah Salemba, Jakarta pada 1967 sampai dengan 1975. Tidak ada proses peradilan sebelumnya.

Dia dijebloskan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan pemberontakan. Esainya itu sarat kritik tajam. Sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI membuat rezim berkuasa saat itu merasa perlu menghentikan kreativitas Sitor.

Namun, ringan saja Sitor berkomentar, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja.” Itu alasan kenapa sastrawan besar itu terkurung di rutan Salemba delapan tahun berturut-turut. Sampai keluar dari penjara pun Sitor tak pernah tahu kesalahannya.  

Tak ada seorang pun yang menghentikan Sitor menulis. Di dalam penjara, Sitor melahirkan dua karya sastra, Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Setelah sempat menjalani tahanan rumah, Sitor pilih menetap di luar negeri.

Kota Paris, dianggapnya sebagai rumah kedua setelah kampung halamannya di Harianboho. Desa Harianboho terletak persis di bibir Danau Toba.  

Sejak 1981, Sitor diangkat sebagai dosen di Universitas Leiden, Belanda. Dalam pengembaraan hidupnya, Sitor tak pernah berhenti menulis.

Saat melanglang buana ke berbagai negara, seperti Pakistan, Perancis, dan Belanda, Sitor menghasilkan banyak karya. Cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Saw (1993).

Sang penyair bangsa telah menghembuskan napas terakhirnya pada Minggu (21/12) di Belanda pada usia 91 tahun. Sitor menutup usia karena usianya yang telah lanjut. Sebagian besar hidupnya memang dihabiskan di luar negeri, tapi bapak sastra Indonesia ini selalu menganggap dirinya sebagai orang Batak. Seorang kepala suku, jika memang sistim tata nilai lama adat Batak masih berlaku.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER