RESENSI FILM

Film Di Balik 98, Sisi Humanis Peristiwa Masif

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Kamis, 08 Jan 2015 07:05 WIB
Kisah dasar memang sebuah drama percintaan yang akhirnya dibungkus dengan situasi politik, sejarah, rasis, dan kemanusiaan.
Sutradara Film Di Balik 98 Lukman Sardi. (CNNINdonesia/ Rizky Sekar Afrisia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mei 1998. Kurun yang tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah Republik Indonesia. Saksi bisu tumbangnya sebuah rezim Orde Baru, penguasa selama lebih dari 30 tahun oleh para pemuda. Seperti tumbangnya Jalut oleh Daud.

Kisah yang terjadi pada Mei 1998 akan selalu menjadi kisah yang menarik untuk terus dikaji, dikupas, bahkan direka ulang. Tidak ada bukti autentik yang menjelaskan setiap kejadian penting yang menyertainya. Yang ada hanyalah kesaksian demi kesaksian dari yang pernah terlibat.

Lukman Sardi menantang dirinya untuk mencoba menggambarkan detik-detik bersejarah dari perjalanan bangsa ini. Meskipun sebuah film drama percintaan, namun bungkus sejarah, politik, rasisme, dan kemanusiaan menjadi sebuah paket yang jelas menghasilkan sebuah film yang tidak dapat dianggap remeh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Balik 98 menceritakan kisah sepasang aktivis mahasiswa Trisakti, Diana dan Daniel. Diana (Chelsea Islan) adalah seorang mahasiswi hukum yang idealistis dan kritis terhadap pemerintahan Soeharto.

Di sisi lain, dirinya adalah adik dari pegawai Istana Presiden, Salma (Ririn Ekawati) dan ipar dari seorang prajuit TNI bernama Bagus (Donny Alamsyah). Daniel (Boy William) adalah keturunan Tionghoa. Ia beserta adik dan ayahnya hidup dalam damai sebelum krisis 1998 melanda.

Diana, seperti pada umumnya aktivis mahasiswa, selalu berapi-api dalam mengikuti kegiatan aksi mahasiswa menuntut mundurnya sang presiden. Daniel pun hanya bisa mengikuti keinginan sang kekasih.

Konflik antara Diana dan keluarganya pun terjadi. Diana harus berhadapan dengan kakak dan suaminya yang berada dalam lingkaran pemerintah. Gadis tersebut pun akhirnya memilih memperjuangkan idealisme mahasiswanya.

Ketika kerusuhan pertama pecah pada 13 Mei 1998, yang berbuntut pada aksi penjarahan massal di kota-kota besar dan perburuan serta penindasan terhadap keturunan Tionghoa,

Daniel pun terpisah dari keluarganya. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk mencari keluarganya sendiri ketimbang meneruskan perjuangan reformasi bersama kekasih dan mahasiswa lainnya.

Sepeninggal sang kekasih, Diana terus mempertahankan perjuangannya. Namun, kehilangan sang kakak tercinta yang tengah hamil tua membuatnya ragu. Konflik idealisme yang telah lama terjadi antara ia dan Bagus pun padam lantaran kekhawatiran yang sama akan keselamatan Salma.

Namun, perjuangan menegakkan reformasi tidaklah sampai di situ. Diana, Bagus, dan Daniel pun sama-sama berjuang atas nama reformasi dengan caranya masing-masing.

Cerita pun bergulir menggambar-ulangkan kejadian yang dialami oleh berbagai pihak selama masa peralihan di Mei 1998 tersebut. Lukman Sardi menunjukkan kepiawaiannya tidak hanya sebagai aktor, namun juga sebagai seorang sutradara.

Penonton diajak hanyut dalam ketegangan alur cerita yang dibuat begitu ringan dan mudah dimengerti dengan kondisi politik yang sulit saat itu, namun tidak mengurangi bobot cerita.

Lukman menggambarkan kondisi humanis kejadian Mei 1998 dari berbagai sudut pandang, yaitu dari para mahasiswa, keluarga mahasiswa, masyarakat umum, masyarakat minoritas, tentara, pegawai pemerintahan, politisi, bahkan hingga kondisi humanis seorang presiden.

Para pemain benar-benar menunjukkan akting yang prima. Seperti Amaroso Katamsi yang memerankan Soeharto, begitu baik dalam memerankan presiden kedua RI tersebut untuk ketiga kalinya dalam perjalanan karier layar lebarnya.

Agus Kuncoro dapat dengan mulus memerankan sosok BJ Habibie, tidak kalah dibandingkan Reza Rahardian, meskipun rasanya Agus terlalu lentik menggunakan tangannya dalam menirukan Habibie.

Boy William dan Chelsea Islan juga termasuk yang memiliki hutang atas Lukman Sardi lantaran sanggup memoles kemampuan akting keduanya sehingga nikmat ditonton.

Lukman juga begitu berani menggunakan komedian untuk peran yang serius. Seperti Panji Pragiwaksono yang memerankan Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat menjelang pengamanan Jakarta pada Mei 1998.

Film ini juga memiliki efek visual yang cukup baik dengan penggambaran setting lokasi, waktu kejadian, dan dokumenter yang disusun dan dikemas dengan cukup rapi.

Namun film ini tetaplah sebuah drama, yang terkadang jalan ceritanya begitu aman. Kisah dasar memang sebuah drama percintaan yang akhirnya dibungkus dengan situasi politik, sejarah, rasis, dan kemanusiaan, yang justru membuat film ini tidak memiliki dominasi tertentu. Sehingga yang dirasakan adalah film ini terlalu aman. Tak utuh sebagai sajian romansa, politik, maupun sejarah.

Terlepas dari pro dan kontra yang menyelimuti film ini, Lukman Sardi hanya ingin menggambarkan dan mengajarkan kepada yang belum mengetahui kondisi kemanusiaan dari Kerusuhan Mei 1998.

Bukan bermaksud untuk memperjualbelikan sejarah, namun ia hanya ingin bangsa ini mengingat akan sejarahnya sendiri, meskipun itu kelam. (vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER