Jakarta, CNN Indonesia -- Hollywood dan perempuan seperti dua pihak yang tak berjalan beriringan. Sementara film-film bikinan Hollywood makin laris, sosok perempuan di baliknya justru makin sedikit. Setidaknya, jika dibandingkan dengan 17 tahun lalu, menurut studi yang dilakukan Pusat Studi Perempuan di Televisi dan Film Universitas San Diego.
Dilaporkan Reuters, studi itu menunjukkan peran perempuan di belakang layar industri perfilman Hollywood menunjukkan perubahan dari tahun ke tahun. Menurut studi yang dipublikasikan Selasa (13/1) kemarin, tujuh persen dari 250 film di
box office Amerika Serikat sepanjang 2014, digarap oleh perempuan. Angka itu naik satu persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun, itu belum cukup. "Itu bukan pergerakan yang cukup banyak," kata penulis studi, Martha Lauzen. Katanya, sutradara perempuan menurun dari sembilan persen di tahun 1998, menjadi hanya tujuh persen di tahun 2014. Artinya, perempuan belum terlalu berperan di perfilman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jelas bahwa masalah industri yang luas ini, membutuhkan solusi yang juga luas. Sebagai industri, film masih belum menanggapi isu kronis soal perempuan yang kurang diberdayakan ini," kata Lauzen menambahkan. Padahal, perempuan di belakang layar bisa menjadi sutradara, produser, produser eksekutif, penulis skenario, editor, dan sebagainya.
(Baca juga: Dominasi Seksualitas di Perfilman Hollywood)
Studi itu menjadi penting terkait baru diumumkannya para pemenang Golden Globe Awards, dan bakal dirilisnya nominasi Academy Oscar alias Oscar besok. Pada dua ajang penghargaan prestisius di bidang perfilman itu, sedikit peran perempuan di belakang layar.
Ava DuVernay menjadi satu-satunya sutradara perempuan yang karyanya digadang-gadang masuk Oscar tahun ini sebagai film terbaik:
Selma. Sementara Angelina Jolie, satu-satunya sutradara perempuan yang filmnya,
Unbroken masuk 100 terbaik
box office AS tahun 2014.
Sepanjang 86 tahun sejarah Oscar, satu-satunya perempuan yang pernah memenangi sutradara terbaik adalah Kathryn Bigelow. Ia unggul lewat filmnya tahun 2010:
The Hurt Locker.
Mengutip Reuters, studi yang disebut
Celluloid Ceiling itu mempelajari hampir tiga ribu pekerja di belakang layar. Ditemukan, kalau pun bekerja di belakang layar perempuan lebih banyak menjadi produser (23 persen), sedangkan produser eksekutif mencapai 19 persen.
Perempuan yang menjadi editor hanya 18 persen, sebagai penulis naskah sebesar 11 persen, dan menjadi sinematografer hanya lima persen.
"Gender sutradara penting, karena penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan persentase karakter perempuan yang kita lihat di layar. Ini industri yang kompleks dan masalah yang sangat kompleks. Tak ada peluru ajaib di sini," kata Lauzen menuturkan.
Sementara di Indonesia, persentase sutradara perempuan dibanding laki-laki, disebut Nia Dinata masih lebih baik ketimbang di Hollywood. Sebaliknya Lola Amaria berpendapat, sutradara perempuan memang jumlahnya jauh lebih sedikit.
"Film di sini (Indonesia) memang didominasi kaum laki-laki. Tapi sebuah ide lahir bukan dari gender," ujar Lola menegaskan, saat diwawancara CNN Indonesia beberapa waktu lalu.
(rsa/vga)