Jakarta, CNN Indonesia -- Bernyanyi, bergoyang, bercanda, berceloteh. Segala keriaan seolah berkumpul jadi satu dalam ruang karaoke. Tak peduli sekalipun suara pas-pasan, yang penting bisa menggelar “konser” ala idola dan merasakan kebersamaan yang menyenangkan.
Kegiatan bernyanyi ala karaoke sudah dikenal di Kobe, Jepang, sejak 1980-an. Sudah menjadi tradisi para pekerja setempat untuk bersantai di bar sembari mereguk minuman dan menyanyikan lagu-lagu milik para idola.
Suatu kali, sebagaimana dilansir laman
Facts about Japan, musisi pengiring di bar berhalangan hadir. Tak kehilangan akal, sang pemilik bar memutar cakram lagu, dan para pelanggannya pun tetap bisa bernyanyi seperti biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sinilah teknologi karaoke lantas dikembangkan. Kata karaoke sendiri berasal dari bahasa Jepang:
kara (
karappo) yang berarti tanpa dan
oke dari
okesutura (orkestra). Terminolognya merujuk kegiatan bernyanyi tanpa iringan orkestra atau instrumen musik.
Mengakar di Kobe, kini karaoke merebak ke berbagai negara, dari Korea, China, Asia Tenggara, AS, Eropa, dan lain-lain. Karaoke menjadi istilah jamak di seluruh dunia. Bahkan kamus Oxford terbitan Inggris pun memasukkan kata ini di edisi terbarunya.
Dari Kotak sampai KaloriKegiatan karaoke memang menyenangkan, terlebih bila dilakukan bersama orang-orang dekat. Namun di sisi lain kegiatan yang biasa dilakukan para amatiran ini relatif mengganggu tetangga. Pada 1984, mulai dikembangkan
karaoke box di Jepang.
Dalam ruang persegi kedap suara (
soundproofing), pehobi karaoke bisa leluasa melantunkan lagu-lagu favoritnya, tanpa khawatir mengganggu orang sekitar. Dari sekadar boks, lalu berkembang menjadi ruang karaoke berukuran kecil sampai besar.
Tiap ruang dilengkapi peranti, dari monitor televisi, mesin video karaoke, mikrofon, kadang juga disediakan instrumen musik marakas dan tamborin. Tak hanya ruang yang disewakan secara komersil, juga ruang di rumah kalangan menengah atas.
Industri karaoke pun kian maju. Di Jepang, ada tempat karaoke yang dilengkapi alat penghitung kalori. Alat ini bekerja otomatis begitu “konser” usai.
Di luar teknologi, sisi hiburannya pun dimanjakan. Tak sedikit tempat karaoke yang menyediakan jasa pemandu (lazimnya wanita). Sejalan dengan itu, muncul istilah “karaoke keluarga” yang meniadakan jasa pemandu, juga sajian minuman keras.
Karaoke telah menjadi bagian budaya pop yang tak dipisahkan dari kehidupan kaum urban sampan pinggiran. Karaoke bahkan menjadi subjek riset, seperti Brian Raftery yang menulis buku
Don't Stop Believin': How Karaoke Conquered the World and Changed My Life.Kini, karaoke bukan sekadar “arena konser” bagi segala kalangan, dari pekerja, ibu rumah tangga, mahasiswa sampai pelajar. Karaoke juga menjadi peranti edukasi oleh orang tua kepada anak, dari mengajarkan lagu sampai pengetahuan.
(vga/vga)