Jakarta, CNN Indonesia -- Seniman Heri Dono, ditunjuk untuk mewakili Indonesia dalam ajang Pameran Seni Rupa Internasional La Biennale ke-56 di Venesia, Italia. Seniman asal Yogyakarta itu mengusung karya bertajuk Voyage dengan instalasi Trokomod (Trojan-Komodo) sebagai karya utama.
La Biennale dianggap sebagai pameran seni kontemporer terbesar dan paling bergengsi di dunia. Pameran yang diselenggarakan di dua lokasi di Venesia, Giardini dan Arsenale, ini pertama kali dihelat pada 1985. Ajang dua tahunan ini amat dinanti-nantikan oleh seniman di seluruh dunia.
"Saya kira, La Biennale tidak hanya tertua tetapi juga sarat muatan intelektual. Makanya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sangat berkepentingan," kata Heri ditemui di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (6/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan, "Selama ini kalau kita bicara seni di Indonesia masalahnya selalu dalam eksplorasi estetika, belum ke ranah
intellectual property di mana pemerintah harus menjaga pemikiran para seniman."
Sebelumnya, Indonesia pernah mengikuti La Biennale ke-55 pada 2013 lalu dengan memamerkan karya bertajuk Sakti di Paviliun Nasional Indonesia. Seperti halnya 2013, Paviliun Nasional tahun ini pun diproduksi oleh Bumi Purnati didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Bumi Purnati bertanggung jawab atas tiga hal yakni artistik, logistik, dan finansial. Dalam segi artistik, Restu Kusumaningrum ditunjuk sebagai produser dan direktur artistik. Ia menggandeng dosen Institut Teknologi Bandung, kurator, serta seniman Asmudjo Jono Irianto dan penulis sekaligus kritikus seni Carla Bianpoen.
Anggota Dewan Penasihat Artistik inilah yang menyeleksi sejumlah kandidat seniman hingga akhirnya memutuskan Heri sebagai perwakilan Indonesia. "Heri sudah berpengalaman mengikuti 27 pameran internasional," kata Carla memberikan penekanan.
Oleh karenanya, Heri dianggap memiliki kematangan untuk membawa nama Indonesia. Ia merupakan seniman kontemporer pertama Indonesia yang berkiprah di kancah seni rupa global sejak 1990-an. Namanya telah tersohor di pentas internasional dengan karya-karya yang banyak terinspirasi dari seni teater tradisional Jawa, yakni wayang.
Carla menganggap Heri merupakan contoh seniman yang menentang hegemoni Barat pada bidang kontemporer, atau disebut dengan
new internationalism. Namun, seniman 54 tahun itu juga dikenal dengan pendekatan karyanya yang manusiawi dan jenaka.
Heri sebelumnya juga menjadi satu-satunya seniman Indonesia yang diundang pada La Biennale di Venesia pada 2003. Agar konsentrasi dalam berpartisipasi pada La Biennale tahun ini, seniman kelahiran Jakarta yang kini menetap di Yogyakarta itu pun menangguhkan pameran tunggalnya di Tokyo, Jepang.
Heri mengungkapkan perlu riset hingga dua bulan untuk mendapat inspirasi Voyage. Sementara dalam penciptaannya, ia pun menghadapi kesulitan dalam penggunaan sistem modul sehingga ukuran karya harus presisi, disesuaikan dengan kontainer yang akan membawanya ke Venesia.
"Saya harus menyesuaikan karya dengan sistem modul agar ketika dilepas bisa pas dengan kontainer, sampai sana (Venesia) akan dirakit ulang," tutur Heri.
Melalui Voyage, Heri ingin menyediakan ruang bagi bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi kritis sekaligus sarana untuk mengkritik bangsa Barat. Ia ingin menunjukkan bahwa seni rupa Indonesia dapat tampil dalam perbincangan internasional.
"Seni adalah doa. Seni ketika mengkritik juga sebenarnya sedang berdoa, supaya kehidupan menjadi lebih baik. Bukan mengkritik agar lawan kita jatuh. Kritik itu untuk kebaikan hidup, dengannya kita tahu kita ada di mana dan apa yang kurang dari kita," seniman yang pernah belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarya itu memaparkan.
Voyaga saat ini sedang dalam proses finalisasi dan ditargetkan selesai pada pekan depan. Karya yang menggabungkan seni patung, instalasi, dan multimedia itu digarap di Bandung dan Yogyakarta sebelum dikirim ke Jakarta untuk berlayar ke Venesia. Karya itu akan dipamerkan di Arsenale pada 6-8 Mei mendatang.
"Kalau saya tidak ingin penghargaan, saya ingin mudah-mudahan Indonesia dilihat. Karya ini direspon oleh dunia sehingga orang tidak melihat Indonesia dari media massa Barat yang mengabarkan buruk tentang Indonesia," tandas Heri mantap.
(vga/vga)