Jakarta, CNN Indonesia -- "(Kami akan pergi) Ke manapun di bumi yang aman, di mana anak negerinya menerima kami. Bukan sebagai Belanda atau Cina tetapi sebagai manusia. Barangkali itu Manado, di utara Celebes."
Penggalan kalimat diatas merupakan percakapan dalam naskah drama 9 Oktober 1740 karya novelis Remy Silado, yang menunjukkan sudut pandang humanis penulis terhadap etnis Tionghoa.
Remy sendiri banyak menulis tentang pencarian jati diri bangsa Tiongkok di tengah asimilasi budaya Indonesia yang kompleks. Baginya, bangsa Tiongkok (yang kerap disebutnya Cina, untuk menghormati), merupakan salah satu saksi utama sejarah pembentukan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain Jawa, Minahasa, Batak, ada Cina (Tiongkok) yang menentukan jalannya kebangsaan Indonesia sejak zaman Sumpah Pemuda," kata Remy Silado saat ditemui CNN Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Rabu (18/2).
Remy mengatakan etnis Tionghoa di Indonesia lazimnya disebut Kiau-seng atau peranakan. Sementara itu, etnis Tionghoa asli baru datang ke Indonesia setelah adanya gereja Tiongkok yang membuka konggregasi bernama Hua-Kiau pada 1856. Gereja tersebut didirikan Gan Kwee dari Amoy dengan nama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, kata Remy.
"Sejak itu orang Cina (Tiongkok) perantauan muncul ke Indonesia pada 1901 dan Cina (Tiongkok) asli pada 1911 setelah Sun Yat Sen terpilih Presiden," kata Remy menjelaskan.
Dari nama gereja tersebut, kata Tionghoa akhirnya dipopulerkan di kemudian hari. Meski demikian, Remy sempat menyayangkan adanya penggantian nama Cina menjadi Tiongkok pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kata Cina itu bagus. Tidak benar itu adanya penghinaan. Di Malaysia saja disebut Cina Penjahit (pandai). Waktu itu saya sempat jadi pembicara juga bersama Deplu dan pusat bahasa Kedutaan Cina (Tiongkok) mengenai itu," ujar dia." Ada bisik-bisik diganti karena ada majalah Chinatown yang isinya palu dan arit semua."
Namun, bukti masuknya budaya Tiongkok ke Indonesia, kata Remy, sudah ditemukan jauh sebelum adanya eksodus masyarakat Tiongkok peranakan dan asli ke Indonesia pada abad ke-19. Pada 1400-an, Laksamana Ceng Ho, seorang Muslim Tiongkok, mendirikan tokong Tiongkok tertua di Semarang, Jawa Tengah, karena merasakan adanya kesayangan pada wilayah tersebut. Ceng Ho sendiri berasal dari Dinasti Ming.
Lalu, pertanyaan muncul: mengapa etnis Tionghoa eksodus ke Indonesia pada abad ke-19?
"Saya tidak tahu. Namun dalam salah satu literatur yang saya baca, Indonesia bisa memberikan hidup baru buat mereka. Saat itu, Dinasti Qing masih menjajah Cina (Tiongkok),"kata Remy menjelaskan.
Dinasti Qing dikenal dengan nama Dinasti Manchu, sebuah bangsa di utara yang sekarang dikenal dengan kawasan Manchuria. Orang Tiongkok yang dijajah bangsa Manchu lari ke Indonesia dengan masih mengenakan kuncir Taucang, gaya rambut yang populer semasa Dinasti Qing, serta perempuan bersepatu logam.
Namun, kedatangan bangsa Tiongkok ke Indonesia untuk mencari kehidupan yang baru (dunia yang bisa menerima mereka secara manusiawi, menurut istilah Remy) berbuah hasil kemajuan ekonomi yang pesat dari kaum pendatang ini. Sejarah membuktikan, perekonomian Jakarta (sejak bernama Batavia) maju dengan adanya tangan dingin dari etnis Tiongkok.
"Ketika bangsa Cina (Tiongkok) dibantai pada 1740 oleh Gubernur Jenderal VOC, saat itu perekonomian Batavia langsung luluh lantak, " kata Remy menjelaskan.
Saat itu, peningkatan ekonomi tersebut menimbulkan adanya sentimen dari masyarakat pribumi dan Belanda. Sebelum Adrian Valckenieer membantai 10 ribu bangsa Tiongkok, Gubernur Jenderal VOC yang ke-27, Gustaaf Willem Baron Van Imhoff, sempat memberlakukan kebijakan surat izin bermukim dan menetap di Batavia bagi bangsa Tiongkok. Kebijakan tersebut menimbulkan pemberontakan dari bangsa Tiongkok, yang kemudian dihabisi oleh Valckenieer.
Namun, pada masa perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan, bangsa Tiongkok (yang saat itu diperlakukan sebagai warga kelas bawah) justru bersatu dengan kaum pribumi untuk mengalahkan penjajah VOC. Salah satu peristiwa yang terkenal adalah Perang Kuning. Dua tokoh pahlawan Tionghoa nasionalis yang tersohor adalah Tan Kee Wie dan Oei Ing Kiat (Raden Ngabehi), pernah diabadikan oleh Remy ke dalam pementasan pada Perayaan Imlek 2009 lalu.
"Keduanya terkenal sebagai pengusaha genteng kaya raya di Rembang dan Lasem yang memiliki persaudaraan sangat erat dengan Raden Panji Margono, anak Adipate Lasem Tejokusumo V yang anti penjajah," kata Remy.
Saat perang melawan penjajah dilakukan oleh warga Lasem, ketiganya bersatu, dengan dibantu laskar santri yang dipimpin Kyai Ali Badawi. Namun, serangan tersebut berhasil dipadamkan Belanda akibat adanya pembocoran oleh Pakubuwono II, yang sangat pro ke Belanda. Dalam peperangan tersebut, Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono tewas.
Kuatnya peran bangsa Tiongkok ke dalam pembentukan kebangsaan Indonesia itulah yang menyebabkan ketertarikan Remy menggarap tema-tema budaya Tiongkok dalam karya-karyanya, seperti diantaranya Perempuan Bernama Arjuna I, Perempuan Bernama Arjuna II dan Ca Bau Kan.
"Pada masa sekarang ada prasangka buruk pribumi pada Cina (Tiongkok). Nyatanya, pribumi yang tidak membuka diri. Padahal, dari teks proklamasi, tidak ada satupun orang Indonesia yang berasal dari ras asli. Semua Bhineka Tunggal Ika," kata Remy menegaskan.
Istilah Indonesia, kata Remy, dipakai oleh etnolog asal Skotlandia, J. R Logan untuk mengacu kepada wilayah Hindia kepulauan pada 1850. Istilah Indonesia kemudian dipopulerkan oleh Adolf Sebastian, akademisi Universitas Berlin, dalam bukunya Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels.
"Secara politik kebudayaan itu jamak, ya diterima dan dipertahankan seperti itu saja," ujar Remy.
Ditanya mengenai kondisi saat ini, Remy masih melihat adanya sentimen kuat masyarakat terhadap etnis Tiongkok di Indonesia. Bahkan, katanya, sentimen tersebut sudah masuk ke ranah politik, di mana kalangan pejabat pemerintah turut melakukan tindakan berbau rasial.
Untuk meredakan ketegangan tersebut, Remy berpendapat pemerintah sebaiknya berfokus pada peningkatan ekonomi masyarakat.
"Kalau sudah tercukupi kebutuhan ekonominya, dengan sendirinya sentimen itu akan lenyap," ujar penulis puisi Mbeling yang gemar mengenakan pakaian dan atribut putih tersebut.
(utd/utw)