Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada suara yang menyertai suatu adegan di film
Da Vinci Code (2006), saat Robert Langdon (Tom Hanks) dan Sophie Neveu (Audrey Tautou) menemui Sir Leigh Teabing (Ian McKellen) untuk membahas lukisan kuno
Perjamuan Terakhir.Hilangnya suara tak terlepas dari “ulah” Lembaga Sensor Film (LSF) yang menilai dialog dalam adegan tersebut menyinggung suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Selama beberapa menit, para penonton di bioskop terbengong-bengong.
Tentu saja, banyak kerugian yang dirasakan para penonton: selain tak memahami jalan cerita secara utuh,
mood menonton pun buyar. Mereka yang tak membaca buku karya Dan Brown yang melatari film tersebut tentu saja menjadi bingung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus semacam ini, perkara sensor memang menyebalkan. Tak heran bila belakangan ini muncul wacana penghapusan sensor. Dan sebagai gantinya: pemberlakuan
rating. Dengan begitu, film dapat dipirsa secara utuh sesuai peruntukan usianya.
Pemberlakuan sensor di ranah film dunia telah berlangsung sejak awal abad ke-20. Tak terlepas dari norma sosial serta norma religi yang berlaku di masyarakat. Aturan yang mengikat ini menjadi pengendali tindakan, termasuk dalam berkreasi.
Dalam film, sensor bisa meniadakan banyak elemen yang dianggap tak sesuai norma atau aturan yang berlaku, dari bahasa, dialog, adegan (terutama kekerasan, nudisme, terorisme, dan seksual), plot, sampai subjek penting lain.
Beberapa literatur menyebutkan, pada era lalu, sensor dilakukan oleh kalangan rohaniawan. Mereka menerapkan kode-kode tertentu. Kini, sensor film dilakukan oleh pemerintah atau lembaga berwenang, terutama hal klasifikasi dan sertifikasi distribusi.
Sebagian pihak memandang sensor sebagai upaya mengedukasi. Namun tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai aksi memberangus ide. Mau tidak mau, film harus disensor terlebih dulu. Jika tidak, maka dilarang diedarkan atau ditayangkan di bioskop.
Belakangan ini, mencuat wacana penghapusan sensor dan pemberlakuan
rating. Bila kelak benar dieksekusi, maka LSF tak perlu repot-repot menggunting adegan. Cukup menyeleksi calon penonton sesuai
rating film.
Penyelenggara bioskop secara tegas tidak memperkenankan anak-anak atau keluarga menonton film berlabel
R-rated yang dikhususkan bagi dewasa. Karena film ini mengandung tema, bahasa dan aktivitas dewasa.
Beberapa keuntungan penghapusan sensor: jalan cerita bisa disimak lebih utuh. Film akan jauh lebih bermakna karena dituturkan apa adanya sesuai isi kepala sang sineas.
Mood menonton film juga tidak terganggu.
Sensor film tak ubahnya pagar yang membatasi tema dan konten yang layak dikonsumsi publik sesuai segmen usia. Alasannya, tentu saja agar sineas tak kebablasan dalam berkreasi dan penonton pun menyerap edukasi sekaligus nilai-nilai baik.
(vga/vga)