Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun ini menandai 100 tahun film bisu
The Birth of a Nation yang disebut-sebut paling rasial. Film arahan D.W. Griffith yang dirilis di Amerika Serikat (AS) pada 3 Maret 1915, ini menuturkan sejarah pendiri kelompok rasial yang memusuhi kaum kulit hitam Ku Klux Klan (KKK).
Sekalipun temanya dikecam, film yang memperlihatkan wajah Hollywood semasa muda ini tetap dipuji karena memuat teknik revolusioner yang dianggap mengubah seni modern. Kemunculan
Birth of a Nation pun segera disusul sekuel
Intolerance (1916), masih garapan Griffith.
Laman
New York Times menuliskan, film-film karya Griffith memang tidak begitu saja mudah dipahami (mengingat ini film bisu). Namun sang sineas tetap disebut hebat dan berbakat karena berhasil membalut ideologi rasial yang sangat sensitif dengan estetika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menonton
Birth of a Nation serta sekuelnya, menunjukkan betapa rasialisme mempersempit pola pikir orang. KKK didirikan pada 1866 oleh kelompok kulit putih. Mereka melakukan aksi bawah tanah guna mengintimidasi dan melakukan aksi kekerasan terhadap kaum kulit hitam.
Lima tahun setelah film
Birth of a Nation dirilis, pada 1920-an, pengikut KKK mencapai empat juta orang di seluruh AS. Griffith merekam sepenggal kisah KKK sebagai bagian dari sejarah budaya AS yang kelak berkembang menjadi Negeri Adidaya.
Griffith dianggap berhasil mengembangkan akting sang aktor pemeran utama Henry B. Walthall yang memerankan Colonel Ben Cameron, juga aktris pendukung Mae Marsh (Flora Cameron) dan Lillian Gish (Elsie Stoneman). Di sisi lain, Griffith lemah menempatkan karakter kulit hitam.
Bagian paling menarik, saat pasukan KKK menembus barikade tentara dan menggempur kota. Adegan kerusuhan, baku tembak, juga pasukan berkuda digarap secara mumpuni oleh Griffith. Secara visual, Birth of a Nation sungguh memikat dan legendaris.
(vga/vga)