Jakarta, CNN Indonesia -- Jimmy Conlon (Liam Neeson) bukan tipe orang yang disukai. Ia bahkan tak punya teman sama sekali. Jimmy telah mengkhianati keluarganya. Bahkan sang anak, Michael Conlon (Joel Kinnaman) membencinya. Polisi pun memburunya.
Satu-satunya orang yang peduli hanya Shawn Maguire (Ed Harris), seorang sahabat lama. Konon, Jimmy bekerja untuk Shawn. Ia bertugas membereskan pekerjaan kotor sang pebisnis.
Tapi kini Shawn sudah bukan preman lagi. Meski masih menjadi bos mafia, pekerjaannya tak terkait dengan heroin maupun bunuh-membunuh. Masa 35 tahun berbisnis berbahaya telah membuatnya lelah. Shawn kini menjalankan sebuah restoran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi putra Shawn, Danny Maguire (Boyd Holbrook) sudah telanjur nyemplung ke dunia gelap. Ia yang haus pengakuan dan uang, menyodorkan penjual heroin nyaris murni kepada sang ayah. Shawn menolaknya mentah-mentah. Padahal, penjual heroin dari Albania itu sudah membayar.
Tiba saatnya ia meminta uang kembali, Danny malah membodohi. Di tangan Danny, dua mafia itu tertembak mati. Proses pembunuhan itu tak berjalan mulus. Danny punya saksi, yang tak lain adalah Mike, kawan mainnya sejak kecil. Anak satu-satunya dari sahabat ayahnya.
Masalah semakin rumit saat Danny memutuskan memburu Mike. Sementara itu, Shawn yang sudah 'tobat' mendadak menelepon Jimmy, menginginkan jasanya kembali. Ia diminta membunuh Mike, putranya sendiri. Mana yang dipilih Jimmy?
Di tengah kejaran polisi korup, sahabat lama yang murka, dan tatapan anak yang tidak percaya, Jimmy berjuang melindungi orang yang dikasihinya, hanya dalam waktu satu malam.
Cerita yang terbungkus lewat film
Run All Night ini tidak jauh berbeda dengan karya Hollywood kebanyakan. Mafia, polisi korup, kejar-kejaran mobil, dan pembunuhan. Namun, sutradara Jaume Collet-Serra mampu mengemasnya tetap segar.
Pertama, lewat kompleksitas konflik. Collet-Serra bukan hanya menyuguhkan perburuan mafia tanpa dasar. Ia mencampur konflik ayah-anak dan dua sahabat. Collet-Serra juga menyuguhkan arti cinta dan kasih sayang, meski lewat kekerasan. Bauran karakter Shawn dan Jimmy pun menarik.
Kedua, Collet-Serra menggunakan alur cerita yang brilian. Ia berani meletakkan adegan terakhir di awal, lalu menarik cerita dengan alur mundur. Ia sukses membuat penonton terus bertanya-tanya, kapan kejadian yang ada di awal film itu akan kembali muncul sebagai akhir.
Meski adegan itu nyaris menjadi bocoran di awal film, Collet-Serra tidak kehilangan respek. Penonton justru menunggu-nunggu bagaimana kelanjutan tiap adegan dalam film. Belum lagi, ia terus menyuguhkan kejutan di setiap adegan.
Bukan hanya itu, cara Collet-Serra memperkenalkan karakternya juga cerdas. Jimmy, Shawn, Danny, dan Michael dimunculkan satu per satu sesuai porsinya. Lalu di satu titik, keempatnya menemukan simpul benang merah.
Dari segi akting, tidak ada yang terlalu istimewa. Neeson yang sudah biasa berakting laga, seperti tidak bisa keluar dari karakternya. Ia sukses memerankan ayah yang kejam namun peduli, dan masih punya hati. Ia juga menyuguhkan kegelisahan dengan apik.
Namun, akting itu nyaris sama dengan saat ia memerankan Bryan Mills dalam film
Taken. Selain itu, Kinnaman yang sebelumnya membintangi
Robocop, masih belum terlalu luwes berakting. Harris pun tidak menunjukkan akting yang luar biasa. Karakter yang sukses merebut perhatian penonton dan membuat geregetan justru Holbrook.
Film Run All Night bisa disaksikan di bioskop Indonesia mulai hari ini, Jumat (13/3).
(rsa/vga)