Music Gallery, Selera Kaum Muda yang Melawan Arus

CNN Indonesia
Minggu, 15 Mar 2015 14:45 WIB
Sekalipun stasiun televisi memberondong pemirsa dengan program musik pop, toh selera sebagian kaum muda cenderung anti-mainstream.
Iga Massardi, vokalis Barasuara, memicu histeria penonton Music Gallery di Skeeno Hall, Gandaria City, Jakarta (14/3). (CNNIndonesia/Vega Probo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa stasiun televisi lokal boleh saja memberondong pemirsa dengan acara musik pop yang tipikal saban pagi (dengan pemandu acara ceriwis). Toh begitu, selera tetaplah selera. Nyatanya, sebagian kaum muda cenderung lebih menyukai musik berkualitas dan anti-mainstream.

Terbukti, perhelatan ke-lima Music Gallery (Muga) di Gandaria City (Gancit), tadi malam (14/3) dipadati kaum muda yang antusias menyaksikan band-band indie favorit mereka. Dalam arti, bukan band-band yang terikat kontrak label rekaman mayor.

Muga menampilkan sederet band bermutu di dua panggung berbeda. Bookstore Club, Selimut Cokelat, Circarama, Jirapah, Barasuara, Sore, The Trees and The Wild, Tahiti 80 dan Naif di Pertamina Stage di Skeeno Hall, lantai tiga Gancit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di panggung lain, ada Solace, Fourtwnty, Bageurs, Monkey to Millionaire, Ramayana Soul, MMS, Mondo Gascaro, Banda Neira, dan Payung Teduh di Nescafe Musik Asik Stage di Piazza, lantai dasar mal yang sama di kawasan Kebayoran Lama.

"Paling seru, penampilan Naif," kata Asteria Iskandar (23), yang kebetulan tinggal bertetangga dengan Gancit. "Dan untuk ukuran band  baru, Payung Teduh dan Barasuara keren banget!" lulusan magister komunikasi di London, Inggris, ini menambahkan.

Antrean Mengular Puluhan Meter

Dengan deretan band sekeren itu, tak heran jika tiket Muga sold out sejak pukul sebelas siang. Acara dibuka pukul dua siang, namun keramaian sesungguhnya baru mewujud saat Jirapah dan Barasuara memanaskan Skeeno Hall selepas pukul empat sore.

Saat Tahiti 80 siap tampil jelang tengah malam, antrean penonton mengular puluhan meter, dari Bioskop XXI di lantai dua sampai Skeeno Hall! Penonton yang semula memenuhi Piazza pun bergegas ke atas, tak ingin ketinggalan aksi band asal Perancis itu.

Padahal nama Tahiti 80 terbilang jarang terdengar di telinga kalangan mainstream. Setidaknya, lagu-lagu mereka tak terlalu sering diputar di radio sebagaimana Maroon 5. Tapi Xavier Boyer dan kawan-kawan membuktikan: musik asyik pantang dilewatkan!

Sesuai judul acaranya, Muga tak hanya menampilkan musik, juga karya seni. Salah satunya, instalasi Synaesthesia: Tasting Words, Seeing Sounds, Hearing Colors. Inilah momen seru untuk menikmati dan mengapresiasi musik sekaligus seni.

Lantunan musik psychedelic dari Circarama saat tampil di Music Gallery (14/3). (CNNIndonesia/Vega Probo)
Selimut Cokelat Bawa Clean Bandit

Pintu Skeeno Hall sudah dibuka sejak pukul dua siang, dan band Bookstore Club sudah beraksi di atas panggung, namun hanya segelintir penonton yang menyemut malu-malu di depan panggung. Beberapa lainnya lebih memilih menyandar di dinding.

Saat Bookstore Club silam ke balik panggung, digantikan Selimut Cokelat, jumlah penonton juga masih bisa dihitung dengan jari. Padahal aksi band ini memikat, terlebih saat memungkas aksinya dengan lagu Rather Be yang dipopulerkan Clean Bandit.

Menit-menit berlalu, jumlah penonton bertambah, meskipun tak mencapai seratusan. MC pun bergurau, “Lumayan tadi 2.000-an, sekarang 3.000-an orang.” Agaknya, waktu masih kelewat “pagi” bagi kaum muda untuk melewatkan malam Minggu di mal Gancit.

Dua jam pertama perhelatan Muga masih ditanggapi dingin. Saat band Circarama beraksi selepas pukul tiga sore, barulah Skenoo Hall mulai menghangat oleh alunan lagu bernuansa psychedelic, seperti Empty Room, juga Tomorrow Never Knows milik The Beatles.

Grup band indie Jirapah di Music Gallery di Skeeno Hall, Gandaria City, Jakarta (14/3). (CNNIndonesia/Vega Probo)
Grup Band Indie Kaliber Solar

Suasana kian hangat saat Jirapah menguasai panggung. Di balik penampilan geek para personelnya (tiga di antaranya berkacamata), ternyata aksi musikal band ini lumayan garang. Memadukan cabikan gitar dan bass, gebukan drum, serta lengkingan synth.

Sekalipun Ken Jenie (vokal, gitar) tak pandai berkomunikasi dan tak flamboyan (jangan bandingkan dengan Giring “Nidji”), aksinya bersama Mar Galo, Januar Kristianto, Yudhis Tira, dan Nico Gozali, sangat memukau.

Tampil di Pertamina Stage, dengan nada canda, si jangkung Ken menyebut band-nya masih kaliber “Solar, belum Premium apalagi Pertamax,” karena baru sebatas memiliki mini album musik (EP), belum album utuh.

Tentu saja, ucapan Ken itu hanya wujud kerendahan hatinya. Karena band yang lahir di Brooklyn ini sudah kenyang beraksi di ranah indie New York, Amerika Serikat. Mereka antara lain melahirkan lagu rancak berjudul Summer dan Muto.

Barasuara Menyulut Histeria Fans

Beberapa menit melewati pukul lima sore, konser sesungguhnya, di mana ada penampil dan keriuhan penonton, dimulai saat sang vokalis dan gitaris cool Iga Massardi naik panggung bersama Barasuara, grup yang dibentuknya pada 2011.

Para penonton—laki-laki dan perempuan—riuh bertepuk tangan dan berteriak mengelu-elukan nama personel, terutama Marco. “Baiklah, kami Barasuara. Terima kasih sudah menyaksikan kami,” kata Iga sembari menggeber Nyala Suara, Tarintih dan Sendu Melagu.

Histeria yang tak kunjung menyurut membuat Iga kehilangan konsentrasi saat berpidato tentang interpretasi musik, “Setiap kita mendengar atau menyukai lagu, kita bisa menghidupi lagu itu dan lagu itu hidup di dalam kita.”

“Langsung main aja lah ya,” kata Iga tak kuasa digodai oleh para penggemarnya. Tapi siapa juga yang butuh pidato, karena para penonton tak sabar menyanyi bersama Iga, terutama di lagu Api dan Lentera, yang memungkas penampilan hebat Barasuara di Muga.



LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER