Jakarta, CNN Indonesia -- Saat ribuan buruh berdemo di jantung Ibu Kota, pada Hari Buruh (1/5) yang dikenal dengan sebutan May Day, Lola Amaria tak turut berpartisipasi karena tengah disibuki urusan pra-produksi film Jingga di Bandung, Jawa Barat.
Sebagaimana diketahui, Lola terbilang lekat dengan kaum buruh. Selain pernah menyutradarai dan membintangi
Minggu Pagi di Victoria Park (2010) tentang TKW di Hong Kong, juga membintangi
Detour to Paradise (2007), memerankan PRT di Taiwan.
“Saya enggak ikut gempita May Day karena sedang bekerja di luar kota,” katanya saat dihubungi CNN Indonesia via sambungan telepon (1/5). “Dan enggak kepikiran juga yah, merayakan Hari Buruh,” ia menambahkan dengan nada canda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lola menilai, tak ada kebaruan dari demo buruh saat May Day, “Tuntutan yang disampaikan ribuan buruh yang turun ke jalanan itu sama dari tahun ke tahun sama, enggak pernah berubah: kenaikan upah, peraturan, sistem, regulasi, blablabla.”
Ia meyakini, “Selama tidak ada titik temu antara tiga pihak: pemerintah, pengusaha, buruh, serta peraturan yang jelas, maka wajah perburuhan di Indonesia akan sama hingga 10 atau 20 tahun ke depan. Kucing-kucingan itu akan terjadi sampai kapan pun.”
Terlepas dari hal itu, Lola mengaku masih menjalin hubungan baik dengan para buruh di Indonesia maupun di luar negeri, terutama yang terlibat di kedua film tersebut. Menurutnya, sistem perburuhan di Indonesia dan negara lain tak sama.
Dalam pengamatan Wajah Femina 1997 ini, pemerintah di tiap negara menerapkan penanganan berbeda terhadap kaum buruh. Kesejahteraan mereka tergantung di mana ditempatkan, baik di Singapura, Malaysia, Hong Kong, maupun Timur Tengah.
Di Indonesia, bintang
Ca Bau Kan (2002) ini mengatakan, penanganan buruh akan senantiasa mengalami kebuntuan selama tidak ada ketegasan dari pemerintah, terlebih terhadap para pengusaha yang tidak jujur.
Soal tuntutan kenaikan upah dari parah buruh, Lola menilai, standarisasinya harus jelas dan adil. “Buruh yang lulusan SMA atau bahkan tidak lulus SMA, masa minta standar gaji sama dengan lulusan universitas? Itu kan, enggak wajar.”
Lola tak menampik, problem yang sama juga menyentuh ranah sinema, di mana ada banyak outsource, atau tenaga kerja tidak tetap. “Kebanyakan tidak ada standar gaji,” katanya. “Kami berdasarkan
skill. Makin tinggi
skill-nya, makin gede gajinya.”
Sejalan dengan itu, sutradara
Negeri Tanpa Telinga (2014) ini menegaskan pentingnya mengenyam sekolah, dan tak kalah penting, memiliki
skill yang bagus, agar pekerja dihargai layak dan digaji lumayan.
(vga/vga)