Jakarta, CNN Indonesia -- Seiring waktu, teknik menyanyi akapela makin terkenal. Berbagai grup bermunculan. Teknik membawakan lagu tanpa menggunakan instrumen musik itu bahkan banyak diminati kaum muda.
Pitch Perfect 2 mencoba memotret tren akapela dalam kehidupan remaja lewat sebuah film. Setelah sukses meraup US$ 117 juta atau Rp 1,5 triliun pada film perdananya di 2012, Universal mengeluarkan sekuelnya tahun ini.
Kisah yang ditawarkan masih berupa perjuangan kelompok musik akapela kampus, The Barden Bellas, melawan kelompok lain dalam sebuah kejuaraan. Kalau di film pertama The Barden Bellas berusaha memenangi kejuaraan nasional, kali ini grup yang seluruh anggotanya perempuan itu berusaha menyabet juara dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pitch Perfect 2 diawali sebuah kesalahan fatal yang menyebabkan The Barden Bellas dicela. Setelah dielu-elukan, mereka kini bagaikan aib bagi kampus dan negara. Nasib yang amat buruk.
Namun, The Barden Bellas tidak tinggal diam. Grup yang dikepalai Beca Mitchell (Anna Kendrick) dan Chloe Beale (Brittany Snow) itu berjuang mengembalikan citra mereka sebagai grup akapela terbaik di Amerika Serikat.
[Gambas:Youtube]Di tengah perjuangan tersebut, para anggota The Barden Bellas memasuki masa-masa akhir kuliah. Sebuah pilihan yang berat bagi para anggota persaudaraan tersebut untuk memulai babak baru dalam hidup selepas masa kampus.
Pitch Perfect 2 secara umum tidak berbeda dari film-film remaja Universal lainnya tentang geng yang bertujuan memenangkan sesuatu. Ambilah contoh film seri
Bring It On. Alur ceritanya nyaris sama. Tinggal mengganti dari kelompok cheerleader menjadi grup akapela.
Bagi penonton
Bring It On, konflik, penyelesaian, jenis persaingan, dan akhir cerita
Pitch Perfect 2 terasa membosankan.
Namun masih ada yang menarik dari karya Elizabeth Banks ini. Kemasannya lebih segar, sebab mengangkat teknik akapela yang masih belum banyak menguasai tangga lagu komersial.
Meski kualitas akting para pemainnya tergolong biasa-biasa saja, namun candaan khas anak kampus yang dibuat sedikit
lebay cukup untuk mengundang gelak tawa dari para penonton.
Kehidupan mahasiswa tingkat akhir yang cukup dominan dalam film ini dapat dibilang menjadi sebuah pengikat penonton untuk tetap bertahan di kursi bioskop. Penonton hanyut akan kenangan masa-masa tingkat akhir di kampus yang bahagia dan sedih bercampur aduk.
Keunggulan lain dari film ini adalah sanggup menyajikan kualitas vokal sangat prima dari para kelompok akapela yang sebenarnya. Beberapa kelompok akapela terkenal seperti Pentatonix pun ikut masuk dalam film ini.
Yang juga menarik perhatian, adalah sebuah grup akapela asal Jerman, Das Sound Machine. Kehadiran mereka untuk menjadi antagonis dalam film ini justru memancing decak kagum karena musik yang mengombinasikan akapela, koregrafi futuristik, dan kecanggihan teknologi.
Secara umum, jika Anda menginginkan lebih dari sekadar drama komedi, dengan konser musik berkualitas vokal prima, film ini patut masuk daftar pertimbangan tontonan akhir pekan.
(rsa/rsa)