Jakarta, CNN Indonesia -- Ada naskah film yang sebenarnya punya premis menjanjikan dan jalan cerita unik, namun ketika dieksekusi menjadi citra bergerak, hasilnya malah "meleset."
Akibatnya fatal: kualitas film bagai terjungkal ke lembah jurang. Hal inilah yang dialami film
Persembahan Terakhir yang mengisahkah Fadly Fuad atau Fadly 'Jackson,' sang impersonator (peniru) Raja Pop Michael "Jacko" Jackson.
Dalam film ini Fadly memutuskan untuk kembali menjadi impersonator dan mengikuti kompetisi
dance bersama grup-nya untuk meringankan beban Anto (Faiz Zaldi) yang sakit parah dan belum pernah melihat idolanya, Michael Jackson.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekalipun niatnya mulia, jalan yang harus ditempuh Fadly tak mudah. Ia mengalami konfrontasi dengan grup
dance lain, bahkan hingga bertarung secara fisik untuk menjuarai kompetisi tersebut.
Dengan ide sebagus ini, seharusnya
Persembahan Terakhir bisa bersinar asalkan mengusung dua komponen penting: pertama, keunikan cerita, dan kedua, aspek multikulturalisme yang ditampilkan.
Cerita film ini unik, karena sang impersonator bisa "memotong" peran idola orisinal dan mengalihkan beban menghibur fans pada dirinya. Aspek multikulturalisme juga kental di film ini, karena grup
dance Fadly di film ini terdiri dari berbagai suku: Maluku, Arab-Betawi dan Tionghoa.
Sampai di sini, kedengaran menjanjikan, bukan?
Nyatanya, film ini terjun bebas secara kualitas. Mulai dari karakter, protagonis (Fadly Fuad) dan antagonis (Umbu Deniro) sebagai pilar cerita tak punya kedalaman dan dimensi lain. Begitu juga karakter lain dalam grup
dance Fadly sendiri.
Peran Fadly yang merangkap produser, aktor utama dan satu dari dua sutradara tampaknya tak membantu kedalaman karakternya. Tampaknya penulis naskah lupa, ini bukan film pendek yang akan diunggah ke YouTube.
Plot film ini juga tidak halus dan terkesan dipaksakan. Plot film juga menyetir karakter secara drastis. Seperti Silvia, pacar Fadly (Annabella Jusuf), yang langsung berkunjung ke rumah Anto hanya karena dia melihat kakaknya sedang
ngamen memakai kaus Michael Jackson.
Dialog film juga sangat disayangkan, kualitasnya patut dipertanyakan. Karakter berkomunikasi dengan satu sama lain seperti angin lalu. Entah mengapa menonton dialog di film ini seperti melihat celotehan beberapa orang yang kemudian dikumpulkan dan dijadikan film.
Tak hanya isu kemanusiaan dan multikulturalisme yang diangkat di film ini, juga isu pemakaian narkotika. Namun lagi-lagi tak ada kejelasan apa narkotika yang dikonsumsi Rey (Adhitia Felani) hingga menyebabkan dia OD dan meninggal.
Inilah yang patut disayangkan dari film
Persembahan Terakhir. Upaya mendidik tanpa menunjukkan rantai sebab-akibat yang jelas merupakan sikap menggurui yang akhirnya tidak mendidik penonton.
Pencerahan dalam film ini justru datang di pengujung film. Adegan
flashback memakai
footage rumahan justru paling mengesankan. Rekaman tersebut menampilkan Fadly dan grup
dance lawasnya beraksi di beberapa panggung.
Agaknya kepala sebagian penonton pun lantas dipenuhi pertanyaan yang sama: mengapa rekaman ini tak ditempatkan di awal film untuk menentukan atmosfer cerita?
Aspek paling mengecewakan di film ini adalah stereotip para karakter di film ini.
Stereotip Betawi yang ditampilkan oleh keluarga Jamal (Mustofa Attoz), terutama sang Ayah (Oppie Kumis) adalah karakter yang emosional tanpa sebab, antiargumen dan menggurui. Walau harus diakui penampilan Oppie cukup menghibur.
Kemudian stereotip orang Indonesia Timur yang ditampilkan oleh rekan tempat Mathias (Saul Kelyombar) bekerja, yaitu mudah tersulut amarah dan kasar. Sayangnya film ini hanya menampilkan stereotip tanpa ada usaha untuk menampilkan kedalaman karakter atau dekonstruksi stereotip.
Agaknya film ini dapat menjadi catatan bagi pembuat film lokal, bahwa memerankan diri sendiri, dalam cerita personal dan sekaligus memproduseri film merupakan opsi serakah yang memercik di wajah sendiri.
Mungkin kita harus ingat apa kata Fadly kepada grup
dance rivalnya sebelum diculik dan dipukuli. "
Sorry, gue enggak pernah buang-buang waktu, gue cuma buang-buang duit!"
(vga/vga)