Jakarta, CNN Indonesia -- Perempuan primitif membakar dan menyantap hewan buruannya yang ternyata hanyalah mainan robot kelinci. Sebuah UFO melintas ketika wanita tersebut menengadah.
Interpretasi orang mengenai dua adegan film
Another Trip to the Moon ini bisa jadi berbeda. Begitu pula dengan keseluruhan kisah dalam film arahan Ismail Basbeth ini.
Namun, memang itu tujuan Ismail menggarap film surealis ini. Ismail ingin penonton berkelana dengan imajinasi dan interpretasinya sendiri ketika menonton film ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan pendekatan surealis, Ismail sengaja membuat film ini tanpa dialog. "Ini film Indonesia, tapi tentang dunia. Saya memilih bahasa tutur yang berbeda agar dapat lebih luas menyentuh orang tanpa terkendala bahasa," ujar Ismail dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin (12/6).
Mendukung pernyataan Ismail, produser
Another Trip to the Moon, Andhy Pulung angkat bicara. "Kita sudah terbiasa disetir oleh produser-produser besar Hollywood dengan
genre-genre dan plot yang jelas. Dengan film seperti ini, orang bebas menerjemahkan," tuturnya.
Kendati demikian, film ini bukan tanpa gagasan awal. Ide pembuatan film bermula ketika Ismail bertukar pikiran dengan aktris Ladya Cheryl sewaktu di Berlin, Jerman.
"Aku ini punya kegundahan tentang posisi perempuan di legenda Indonesia itu selalu lemah. Kalaupun kuat, pasti jahat. Kalau kuat, pasti harus dikalahkan oleh pria yang kuat juga," kata Ismail.
Awalnya, Ismail mencoba menerjemahkan kegundahannya dalam bentuk puisi. Akhirnya, ia mencoba format lain, yaitu film.
Ingin mendobrak sistem patriarki, Ismail akhirnya menggalang kekuatan dari beberapa cuplikan cerita rakyat dengan interpretasinya sendiri.
Jadilah sebuah cerita tentang Asa (Tara Basro), seorang anak dari cenayang (Endang Sukeksi) yang ingin menggapai asanya untuk bebas. Ia akhirnya kabur dan hidup di hutan bersama Laras (Ratu Anandita).
Hidup di hutan belantara, Asa dan Laras tak terpenjara. Bermodal tombak dan cacing sebagai umpan, mereka pergi ke sungai mencari ikan. Bermodal alat panah, mereka menjatuhkan binatang buruan ke tanah.
Hingga akhirnya Laras meninggal tersambar petir. Tanpa penyelarasnya, Asa melanjutkan hidup di belantara dengan getir.
Datanglah anjing berbadan manusia (Cornelio Sunny) menjemput Asa. Dengan pakaian seperti suku pedalaman Amerika, Asa bersama anjing tersebut keluar dari hutan menuju kota, ke rumah sang ibunda.
Setelah menikahkan Asa dengan seorang pria, ibunya meninggal dunia. Dibimbing Kepala Pelayan (Mila Rosinta Totoatmojo), Asa dilatih menjadi penerus ibunya.
Asa pun dikaruniai seorang anak perempuan. Sang ayah terlihat bahagia bermain dan menggendong putrinya. Namun, di tengah kegembiraan tersebut, Asa malah pergi.
Kembali ke hutan, Laras menyambut Asa. Mereka berjalan selaras menyambut asa bersama.
Meskipun hanya dengan suara alam dan bisikan doa berbahasa seperti Sanskerta, film ini mampu memaku mata penonton terus ke layar.
Variasi pengambilan gambar yang tak monoton menambah daya tarik film. Film didominasi dengan gambar diam melebar layaknya beberapa karya Akira Kurosawa. Namun ada pula yang menggunakan sudut pandang orang pertama.
Hamparan simbol mengajak penonton untuk menyelami imajinasi dan interpretasi masing-masing.
Bagi yang ingin berkelana di alam surealis Ismail, film
Another Trip to the Moon diputar di Kineforum, Jakarta, setiap Jumat hingga Minggu mulai 12-28 Juni.
Ini merupakan kali pertama Ismail memutarkan
Another Trip to the Moon di Indonesia. Sebelumnya, film ini ditayangkan perdana dalam ajang Hivos Tiger Awards di International Film Festival Rotterdam 2015, Belanda, pada awal tahun ini.
Ismail mengaku sempat tidak yakin memutarkan film alternatif di Indonesia. "Saya pikir enggak laku film seperti ini di Indonesia. Kalau di luar negeri kan pasti laku, orang apresiasi dan beli tiket," katanya.
Namun Ismail menantang diri sendiri untuk menayangkannya di Indonesia. Kesuksesan pemutaran di Yogyakarta sebelumnya membuat Ismail yakin bahwa film alternatif seperti ini memiliki pasar di Indonesia.
Menyambut penayangan di Jakarta, Ismail pun berkata, "Khusus di film saya, merdekakan pikiran sendiri."
(hanna azarya samosir/vga)