Jakarta, CNN Indonesia -- Kepergian aktor kawakan Rachmat Hidayat untuk selamanya menyisakan duka mendalam, tak hanya bagi orang-orang terdekat dan kalangan sinema atau penggemarnya, juga rekan sesama seniman, Slamet Rahardjo.
Mantan tentara Siliwangi era Revolusi ini meninggal di usia 81 tahun di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung, pada Minggu (14/6). Ia dirawat karena terkena serangan jantung. Tahun lalu, Rachmat masih aktif terlibat syuting sinetron di TVRI.
Keterlibatan aktor kelahiran 3 Juli 1933 di ranah sinema tak terlepas dari “rayuan” sutradara Usmar Ismail yang pertama kali menawarinya berakting di film
Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961). Sejak itu, ia pun “kecanduan” berakting hingga 1990-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu filmnya,
Bulan di Atas Kuburan (1973) arahan sutradara Asrul Sani, belum lama ini diproduksi ulang. Film tentang urbanisasi versi anyar disutradarai Edo W.F. Sitanggang dan diperankan oleh aktor muda Rio Dewanto dan Tio Pakusadewo.
Akting mumpuni Rachmat di tiga film
Apa Salahku,
Pacar Ketinggalan Kereta dan
Boss Carmad, masing-masing diganjar Piala Citra. Setelah sebelumnya ia juga meraih Best Actor PWI Jaya 1970-1971.
Sepeninggal Rachmat, Slamet mengaku sangat kehilangan. Saat dihubungi
CNN Indonesia lewat sambungan telepon (14/6), ia menyatakan menyesal tak sempat menziarahi rumah abadi Rachmat di permakaman keluarga di Bojongkunci, Kecamatan Banjaran, Bandung.
“Saya ada acara lain, juga harus menyiapkan keberangkatan ke Jerman, untuk kegiatan menjelang Frankfurt Book Fair,” kata peraih Piala Citra untuk aktingnya di film
Ranjang Pengantin (1975) dan
Di Balik Kelambu (1983).
Sekalipun sibuk dan diburu waktu, Slamet tak keberatan meluangkan waktu sejenak untuk mengenang sang sahabat, terutama pengalaman tak terlupakan saat sama-sama membintangi film
November 1928, yang disutradarai Teguh Karya.
“Rachmat itu aktor autodidak yang mengandalkan bakat alam, namun aktingnya tak kalah dengan aktor jebolan akademi,” kata Slamet. “Di lokasi syuting, ia sangat mementingkan suasana yang kondusif, menyenangkan, tanpa ada iri-irian.”
Di mata Slamet, sahabatnya ini juga sangat disiplin dan tak sungkan “memarahi” siapa pun yang tidak disiplin, terutama selama syuting berlangsung. “Rachmat marahnya pakai Bahasa Sunda,” kata Slamet sembari tergelak.
Sebagai aktor, Rachmat sangat berdedikasi tinggi. Dikatakan Slamet, Rachmat sama sekali tak mengeluh sekalipun harus tinggal di Yogyakarta selama enam bulan untuk syuting
November 1928 yang juga dibintangi aktris Yenny Rachman.
“Aktor ya melakukan tugasnya aktor: mencipta, jangan meniru,” Slamet menirukan kata-kata yang pernah dilontarkan Rachmat semasa muda. Kini, Indonesia kehilangan sang aktor yang disiplin dan penuh dedikasi. Selamat jalan, Rachmat Hidayat.
(vga/vga)