Jakarta, CNN Indonesia -- Slamet Abdul Sjukur telah menghasilkan berbagai karya musik yang diakui berbagai negara di dunia. Sang maestro musik kontemporer pun memiliki sejumlah murid yang kini menjadi musisi terkenal di Indonesia.
Ibarat seorang petapa, kejeniusan Slamet terbangun dari lamanya kurun waktu ia menggarap sebuah karya.
"Bapak itu kalau sedang menyusun lagu, bisa tidak ngomong hingga dua pekan, dan tidak boleh diganggu," kata Tiring Mayang Sari, putri Slamet Abdul Sjukur kepada
CNN Indonesia ketika ditemui dalam perayaan 80 Tahun Slamet Abdul Sjukur di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada Jumat (3/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Slamet tergolong orang yang bila bekerja membutuhkan konsentrasi tinggi. Dirinya kerap kali marah bila keheningan yang ia butuhkan terusik oleh bisingnya kehidupan. Ia tak peduli dengan asupan makanan bila sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Saya tidak berani menonton televisi kalau Bapak sudah ngebleng (fokus), untuk mengingatkan makan saja saya hanya mencolek Bapak," kata Tiring.
Bila usai makan, Slamet pun kembali tenggelam dalam imaji nada dan sibuknya menyusun notasi balok. Waktu tak dihiraukan oleh musisi yang karyanya lebih banyak diapresiasi olen negara luar ini.
Slamet kerap kali membuat berbagai karya pesanan dari berbagai pihak di luar negeri. Tercatat, beberapa negara berbudaya seperti Jepang, Perancis, Budapes, dan Hungaria. Berkat karyanya yang menakjubkan, Hungaria pun pernah memberikan penghargaan kepada Slamet, yaitu Zoltan Kodaly Commemorative Medal.
Sebagai anak yang terdekat dan paling dipercaya oleh Slamet, Tiring pun kerapkali kerepotan dengan ulah sang Bapak yang bukan hanya "puasa" bicara saat bekerja, tapi juga ketika karyanya tersebut sudah rampung dibuat. Tiring harus rela dipaksa bangun dari tidur di tengah malam hanya untuk mendengar karya sang legenda.
Meski sering mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak, Slamet juga sering mendapatkan kritikan, yang justru datang dari anak kesayangannya sendiri.
"Saya pernah bilang, 'Bapak kenapa sih lagunya sedikit yang enak didengar?' Dan Bapak hanya bilang, 'Hidup itu enaknya juga sedikit.' Ibarat kata, hidup itu lebih banyak ujiannya ketimbang nikmatnya," kata Tiring. Tiring merasakan betul sulitnya hidup dengan musisi jenius seperti Slamet. Bukan hanya ketika membuat lagu, Tiring bersabar menghadapi Slamet, tetapi juga dalam kesempatan yang lainnya.
"Biasanya Bapak kalau habis membuat lagu, lalu membuat artikel, nah itu bisa sampai tiga bulan lagi baru ngajak ngobrol," kata Tiring.
Slamet kerapkali diminta untuk menulis di beberapa media cetak. Dan Tiring pun lagi-lagi harus rela untuk menghadapi hening kehidupan bila sang Ayah kembali "ngebleng."
Bila artikel sudah rampung dibuat, biasanya Slamet akan mengajak Tiring untuk "main gila." Bukan menjurus ke hal yang aneh-aneh, tetapi Slamet akan mengajak Tiring untuk makan besar di sebuah restoran dalam Hotel Hilton (kini Hotel Sultan).
Menghadapi kebiasaan Slamet yang memang di luar kebiasaan orang awam, diakui oleh Tiring menjadi tantangan bagi pendamping hidup ayahnya. Selain "gila" saat bekerja, kesibukan Slamet yang padat pun menjadi tantangan tersendiri.
"Memang sulit sih wanita jika menjadi istrinya," kata Tiring. "Harus kuat menghadapi Bapak yang seperti itu."
Slamet seringkali menerima undangan dari para diplomat berbagai negara. Menurut Tiring, ayahnya menghadiri undangan hingga tiga kali dalam sepekan.
Ia sendiri harus menghubungi sang ayah tiga hari sebelumnya bila ingin bertemu.
Namun, bagi Slamet, Tiring jauh lebih penting dari siapa pun. Tentunya di posisi kedua setelah musik yang menjadi hidupnya. Hal itu terlihat dari semangatnya Slamet untuk "menahan" Tiring ketika wanita itu datang menemui dirinya.
"Ayah pernah bilang, 'Tiring, kenapa bukan kamu saja ya yang menjadi istri saya? Kamu lebih ngerti ketimbang siapa pun.' Saya hanya mengingatkan dirinya bahwa saya ini anaknya," kata Tiring sembari tersenyum.