Tiring merasakan betul sulitnya hidup dengan musisi jenius seperti Slamet. Bukan hanya ketika membuat lagu, Tiring bersabar menghadapi Slamet, tetapi juga dalam kesempatan yang lainnya.
"Biasanya Bapak kalau habis membuat lagu, lalu membuat artikel, nah itu bisa sampai tiga bulan lagi baru
ngajak ngobrol," kata Tiring.
Slamet kerapkali diminta untuk menulis di beberapa media cetak. Dan Tiring pun lagi-lagi harus rela untuk menghadapi hening kehidupan bila sang Ayah kembali "
ngebleng."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila artikel sudah rampung dibuat, biasanya Slamet akan mengajak Tiring untuk "main gila." Bukan menjurus ke hal yang aneh-aneh, tetapi Slamet akan mengajak Tiring untuk makan besar di sebuah restoran dalam Hotel Hilton (kini Hotel Sultan).
Menghadapi kebiasaan Slamet yang memang di luar kebiasaan orang awam, diakui oleh Tiring menjadi tantangan bagi pendamping hidup ayahnya. Selain "gila" saat bekerja, kesibukan Slamet yang padat pun menjadi tantangan tersendiri.
"Memang sulit sih wanita jika menjadi istrinya," kata Tiring. "Harus kuat menghadapi Bapak yang seperti itu."
Slamet seringkali menerima undangan dari para diplomat berbagai negara. Menurut Tiring, ayahnya menghadiri undangan hingga tiga kali dalam sepekan.
Ia sendiri harus menghubungi sang ayah tiga hari sebelumnya bila ingin bertemu.
Namun, bagi Slamet, Tiring jauh lebih penting dari siapa pun. Tentunya di posisi kedua setelah musik yang menjadi hidupnya. Hal itu terlihat dari semangatnya Slamet untuk "menahan" Tiring ketika wanita itu datang menemui dirinya.
"Ayah pernah bilang, 'Tiring, kenapa bukan kamu saja ya yang menjadi istri saya? Kamu lebih
ngerti ketimbang siapa pun.' Saya hanya mengingatkan dirinya bahwa saya ini anaknya," kata Tiring sembari tersenyum.
(end/vga)