Jakarta, CNN Indonesia -- Slamet Abdul Sjukur memang telah berpulang. Namun kalangan terdekatnya tak ingin karya dan kenangan sang maestro musik kontemporer terlupakan begitu saja.
Slamet meninggal di usia 79 tahun, pada 3 Maret lalu, di Surabaya, Jawa Timur. Sebelumnya, ia dirawat di Rumah Sakit Graha Amerta selama dua pekan karena kondisinya kian memburuk.
Semasa hidup, Slamet sempat berkelakar, tidak ada anggota keluarganya yang panjang umur lebih dari 80 tahun. Kelakar yang kemudian dirasakan orang-orang terdekatnya sebagai firasat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebetulnya kami ingin sekali punya Griya Slamet Abdul Sjukur,” kata pianis Aisha Ariadna Sudiarso Pletscher saat dihubungi
CNN Indonesia via telepon, tadi malam (5/7).
Dikatakan Aisha, griya tersebut bukan sekadar museum yang menyimpan karya sang pionir, tapi juga difungsikan sebagai arena berdiskusi dan menganalisis karya Slamet.
Kalangan terdekat Slamet, seperti Aisha, musisi Aksan Sjuman dan lain-lain, bertekad melestarikan karya Slamet, dari komposisi, artikel, rekaman audio dan video, sampai kerajinan tangan.
Aisha sangat bersyukur, Slamet menghibahkan seluruh partitur, rekaman-rekaman dan buku-buku miliknya kepada Soe Tjen Marching, penulis, aktivis dan komponis yang kini bermukim di London, Inggris.
Aisha berharap, “Semoga Mbak Soe Tjen dapat merealisasikan impian teman-teman semua dengan mendirikan Griya Slamet Abdul Sjukur yang menjadi rumah diskusi dan tempat menambah ilmu, selain menjadi rumah bagi seluruh harta kekayaan intelektual Pak Slamet.”
Harta kekayaan intelektual Slamet memang patut dilestarikan. Apalagi mengingat Slamet tergolong detail sekali dalam berkarya. "Belum ada pionir lain yang berkarya sedetail itu,” kata Aisha. Tak hanya partitur atau komposisi, artikel yang ditulis Slamet juga mumpuni.
“Tulisannya sangat rapi dan struktural, tanda bacanya jelas, mudah dibaca,” Aisha memuji. "Pak Slamet memang musisi kontemporer yang paripurna dalam menulis partitur maupun artikel.”
Karena itu, Aisha sangat ingin membangun griya bagi sang idola. Juga agar generasi muda mengenal sang ikon musik kontemporer, bahkan bisa mempelajari karyanya di griya tersebut.
Semasa kecil, Aisha memang sudah sering menonton aksi Slamet di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, bersama ibunya, pianis kawakan Iravati Mangunkusumo Sudiarso.
Sejak itu, Slamet bukan sekadar sosok yang familiar di mata Aisha. Lebih dari itu, Slamet adalah sang idola. Empat tahun terakhir pertemanan keduanya makin intensif.
Pada 2014, Aisha ikut beraksi di acara perayaan ulang tahun ke-79 Slamet yang bertema
Sluman Slumun Slamet. “Rasanya tak karuan saya diminta main bersama Aksan Sjuman,” kata Aisha.
Aisha berharap, keinginannya dan kawann-kawan membangun Griya Slamet Abdul Sjukur dapat segera terwujud. Griya di mana karya-karya Slamet bisa selamat dari ancaman kepunahan atau kelupaan.
(vga/vga)