Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa pun yang pernah mengenal sosok seniman musik kawakan Slamet Abdul Sjukur semasa hidup, tentu tak asing dengan sikapnya yang tegas dan tak sungkan bicara blak-blakan.
Saat diwawancarai setahun kemarin, dan ditanya soal “
next project,” sang maestro musik kontemporer sontak murka. Tak ubahnya "monster" yang diusik ketenangannya.
“Rencana berikut lebih nasionalis dari
next project yang kebarat-baratan dan sangat memalukan!” kata Slamet, yang ketika itu sedang bersiap menghadiri acara
Sluman Slumun Slamet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di mata kawan baiknya, pianis Aisha Ariadna Sudiarso Pletscher, sosok Slamet justru sebaliknya: asyik diajak berteman dan bertukar pikiran.
“Saya mengenal sosok beliau sejak kecil namun tidak secara dekat. Saya justru mendapat kesan beliau sangat manusiawi, kata Aisha saat dihubungi CNN Indonesia via telepon, tadi malam (5/7).
Aisha memang tak asing dengan Slamet. Sejak kecil, era 1970-an, dia kerap diajak ibunya, pianis kawakan Iravati Mangunkusumo Sudiarso, menonton pertunjukan Slamet di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Sejak itu, Slamet bukan sekadar sosok yang familiar di mata Aisha. Lebih dari itu, Slamet adalah sang idola. Empat tahun terakhir pertemanan keduanya makin intensif.
Pada 2014, Aisha ikut beraksi di acara perayaan ulang tahun ke-79 Slamet yang bertema Sluman Slumun Slamet. “Rasanya tak karuan saya diminta main bersama Aksan Sjuman,” kata Aisha.
“Saya dan Wong Aksan sering latihan bersama beliau, juga mengobrol, bertukar pikiran,” katanya. Semakin mengenal Slamet, semakin Aisha yakin sosok sang maestro sungguh luar biasa.
Menurut Aisha, Slamet mudah diajak mengobrol soal apa saja. Ia menguasai segala topik, memiliki kepedulian tinggi dan selalu memandang sesuatu dari sisi positif.
Sekalipun memiliki prinsip keras, Slamet menuturkan bahasanya dengan lembut. Tak heran bila Aisha sangat menikmati momen berbincang dengan sang idola yang dipenuhi gelak tawa.
Diakui Aisha, Slamet memang sangat nasionalis, sangat Indonesia. Slamet selalu mengingatkan Aisha agar tak minder dengan kebudayaan Indonesia dan giat menunjukkan eksitensi di mata dunia.
“Kita tak kalah atau malah lebih baik dari orang luar.” Demikian Aisha menirukan kata-kata Slamet. Kenyataannya, karya Slamet diapreasi sangat baik di berbagai negara.
Di antara sederet penghargaaan, Slamet antara lain pernah meraih Piringan Emas dari Academie Charles Cros, Prancis (1975) dan Officier De L’ordre Des Arts Et Des Lettres, Prancis (2000).
[Gambas:Youtube][Gambas:Youtube] Dalam hal komposisi, Aisha memuji karya Slamet sangat maju. Sekalipun komposisinya diciptakan, pada 1960-1970-an, hingga kini masih tersimak kontemporer dan modern.
Tak sulit bagi Aisha mencerna komposisi karya Slamet mengingat ia sudah lama berkawan baik dengan sang komposer. Namun ia tak mengelak, karya Slamet tak mudah dicerna indra dengar kebanyakan orang.
Diakui Aisha, tidak sedikit musisi yang kesulitan memahami komposisi karya Slamet. Kepiawaian Slamet tak hanya menggarap komposisi sendiri. Ia juga piawai menilai komposisi musisi lain.
Dikatakan Aisha, Slamet sangat jeli dalam menilai komponis-komponis muda. Komposisi anyar yang dipilihnya tak hanya indah, juga memiliki identitas.
“Ada kalanya musisi meniru,” kata Aisha. Tapi komposer muda yang dipilih Slamet punya ciri masing-masing. Lewat hasil seleksinya seolah Slamet ingin berkata, ‘Ini loh orang-orang yang bisa diandalkan dan diperhitungkan Indonesia di masa depan.’”
Aisha juga memuji cara Slamet bereksperimen dengan instrumen musik lain, seperti gong. “Tak terbayang, di komposisi beliau, gong malah jadi primadona. Itulah letak pionirnya Pak Slamet.”
Aisha mengaku sangat menyukai komposisi
Game-Land 5, yang merupakan pelesetan dari gamelan. Segala kejeniusan karya Slamet, menurut Aisha, terangkum di komposisi ini.
“Lebih hebat dari komposisi musik klasik Barat,” kata Aisha seraya memuji Slamet sebagai musisi komplet yang piawai menggali potesi budaya, memiliki wawasan luas dan pemikiran baru.
Saat diwawancarai setahun kemarin, Slamet menjelaskan soal
Games-Land 5 di mana ia memainkan piano plus gong-ageng jawa, kemanak serta bebunyian dari tenggorokan, mulut dengan kedua tangan secara bergantian.
Komposisi ini merupakan pesanan L'Institut Francais D'Indonesie untuk memperingati 150 tahun kelahiran komponis Claude Debussy, pada 2012. Komposer asal Perancis ini lahir di Saint-Germain-en-Laye, 22 Augustus 1862.
"Karya ini mencerminkan upaya Debussy mensenyawakan gamelan ke dalam estetikanya," kata Slamet. "Dipentaskan perdana di Salihara, Jakarta, pada 4 November 2012, oleh pianis Prancis Nicolas Stavy. Pementasannya diteruskan di Surabaya, Bandung, Semarang dan Yogyakarta."