Jakarta, CNN Indonesia -- "Jangan terapkan kebodohan Anda di sini." Demikian bunyi tulisan di poster yang ditempel di sekitar Institut Film dan Televisi di India, tempat di mana perpecahan para mahasiswa dan pendukung pemerintah terjadi.
Beberapa pihak mulai khawatir akan adanya campur tangan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, yang diduga akan menerapkan berbagai aturan baru untuk mengontrol industri yang sangat berkembang di India itu.
Sejumlah pejabat dalam jajaran Badan Sensor Perfilman India menyatakan mengundurkan diri karena tidak setuju dengan beberapa aturan main yang akan diterapkan pemerintahan Modi, salah satunya terkait sensor film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aturan tersebut akan menghambat apa yang sudah kami kembangkan selama ini," kata salah satu sutradara asal India, Kiran Rao.
Hingga saat ini, pemerintahan Modi yang baru berjalan selama 14 bulan memang belum menerapkan aturannya. Namun kekhawatiran sudah merebak di kalangan sineas India, yang tidak ingin mendapat tekanan dari pemerintah ketika hendak berkarya.
Film-film India memang masih menyuguhkan adegan bernyanyi dan berjoget. Tapi belakangan ini banyak sineas yang mulai memunculkan tema baru dalam karyanya, seperti hak asasi manusia, homosekual dan isu kasta.
Institut Film dan Televisi India sudah berdiri sejak 55 tahun yang lalu. Sekolah seni perfilman itu telah melahirkan banyak sineas berbakat yang terkenal baik di dalam dan luar negeri. Institut tersebut berada di bawah Kementerian Informasi dan Penyiaran India.
Kritik dari banyak pihak mulai mencuat tatkala Gajendra Chauhan, aktor yang terkenal lewat serial televisi populer di India pada 1980-an, Mahabrata, terpilih sebagai utusan pemerintah untuk memimpin institusi dan industri tersebut.
"Setiap hal yang dilakukan pemerintahan Modi, entah mengenai kesenian atau pendidikan, pasti memiliki agenda tersendiri, entah apa itu," kata Shanta Gokhale, kritikus sastra dan teater di Mumbai.
Chauhan, yang memang menjadi pendukung partai pengusung Modi, sejak 2004, mengatakan kepada
Reuters bahwa pandangan politiknya tidak akan memengaruhi pekerjaannya di industri film India.
"Semua orang berhak memiliki pandangan politik, begitu pun dengan saya. Tapi ideologi yang saya usung tidak ada hubungannya dengan apa yang akan saya kerjakan," ujar Chauhan.
Ini sangat menakutkan karena sangat mengikis unsur demokrasi.Kiran Rao, sutradara India |
Selain Chauhan, nama sutradara film dokumenter, Anagha Ghaisas, juga terpilih untuk memimpin institut tersebut. Salah satu karya Ghaisas berkisah mengenai gerakan kelompok Hindu yang berseberangan dengan Muslim pada 1992.
Di tahun itu Ghaisas membuat dokumenter tentang penghancuran mesjid di Ayodhya, kota pusat pemeluk Hindu. Peristiwa tersebut kemudian bergolak menjadi konflik dan menewaskan sekitar 2.000 jiwa.
Sama seperti Chauhan, Ghaisas mengaku kalau ia tidak malu dengan latar belakangnya. Ia malah tetap bersemangat untuk memajukan institut dan industri film India.
"Jika Anda memiliki kekuasaan, mengapa Anda harus meminta orang dari partai lain untuk membantu Anda? Ini adalah sistem politik yang memang sudah harus terjadi," kata Ghaisas mengenai pemilihan dirinya.
Pejabat di Badan Sensor Perfilman India yang mengundurkan diri juga kini juga ditempati oleh orang baru, yaitu sutradara film Pahlaj Nihalani.
Nihalani memulai kariernya dengan membuat film komedi dewasa pada 1990-an kemudian membuat beberapa video kampanye untuk Modi.
Ketika dimintai pendapat mengenai pemilihan dirinya oleh
Reuters, Nihalani menolak untuk berkomentar.
Beberapa aturan baru yang diterapkan pemerintahan Modi untuk Badan Sensor Perfilman India ialah meniadakan adegan homoseksual dan hubungan di luar nikah. Selain itu, penggunaan kata Bombay juga tidak dibolehkan.
"Ini sangat menakutkan karena sangat mengikis unsur demokrasi," kata Rao, yang sudah berkarier selama 15 tahun di industri perfilman India.
(Sumber: https://mediaexpress.reuters.com/content/item/tag:reuters.com,0000:newsml_L3N0ZO4A5:1646755995?decorator=detailPopup) (ard/vga)