Jakarta, CNN Indonesia -- Ranah sinema Indonesia makin membanggakan. Setelah film
The Raid: Redemption (2011) dan sekuelnya,
The Raid: Berandal (2014), meledak dalam skala global—termasuk merambah Hollywood—kini, giliran
Brush with Danger (2013).
Film ini berkisah tentang kakak beradik Alice Qiang dan Ken Qiang (diperankan oleh Livi Zheng dan Ken Zheng), imigran gelap di Amerika Serikat. Demi menyambung hidup, mereka menjadi penampil jalanan yang mempertontonkan jurus-jurus bela diri.
Selain melakoni akting, Livi dan Ken juga bahu membahu menggarap film ini. Namun Livi menyatakan kerja sama dengan adiknya bukan suatu keharusan. Mereka hanya terinspirasi kolaborasi Wachowski bersaudara atau Joel dan Ethan Coen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditemui
CNN Indonesia di kawasan Kemayoran, Jakarta, kemarin (9/7), kakak beradik yang sama-sama atlet wushu dan penggemar Steven Spielberg ini menceritakan pengalamannya merambah Hollywood.
[Gambas:Youtube]
Selepas SMP, Livi memberanikan diri merantau ke Negeri Paman Sam. Sekalipun memiliki bekal akademis ekonomi, perempuan 26 tahun ini memilih berkarier di industri film. Ia pun membulatkan tekad untuk serius menekuni bidang baru ini.
"Saya sadar bahwa untuk bisa terjun ke bidang film, saya tidak bisa hanya paruh waktu,” katanya. “Jadi saya memutuskan untuk berkuliah S2 di University of Southern California.” Jurusan yang dipilihnya, yaitu Film Production.
Sebelumnya, saat masih menyandang gelar S1, Livi sering membantu kru di lokasi syuting. Hal ini menyadarkan Livi, betapa pekerjaan di ranah film tidaklah mudah. Bisa berlangsung 18 jam lebih, bahkan hingga larut malam atau baru mulai malam.
Jelas pekerjaan di film tak bisa disambi dengan pekerjaan lain. Livi pun sampai di titik pemikiran di mana ia harus memutuskan untuk meneruskan karier di bidang ekonomi atau film. “Saya putuskan untuk teruskan karier di film,” ia menegaskan.
Livi merasa bahwa menjadi sutradara membutuhkan jam terbang tinggi di berbagai departemen produksi. Mustahil seseorang tiba-tiba jadi sutradara. Apalagi proses penggarapan film juga tak selalu berjalan mulus.
Livi menyadari, menjadi sutradara film aksi di umur 23 tahun, ketika itu, tentu tak semudah memproduksi film rumahan. Produksi Brush with Danger memakan waktu lama, karena sebagai aktris dan sutradara, ia tak bisa langsung melihat hasil syuting.
Dan ternyata tantangan terbesar Livi bukan soal perkara itu saja. "Yang paling sulit tantangannya: mengumpulkan tim profesional untuk menjadi kru saya. Kan kami semua harus satu visi,” kata sang sineas pemula.
Kru sempat bertanya soal film yang sudah digarap Livi. Tentu saja tak mudah bagi Livi bila krunya tidak percaya dengan visinya sebagai sutradara. Namun setelah membaca skenario final, kru pun akhirnya setuju menyokong Livi.
Sementara Livi mengurus visual, Ken menulis skrip. Kurang lebih satu tahun Ken bekerja ekstra “menggoreng” naskah film tersebut dengan 30 kali revisi hingga matang. “Saya ingin membuat film action dengan cerita yang kuat," kata Livi.
"Saya pertamanya enggak pede nulis naskah, terus akhirnya saya bilang ke Livi, 'Kayaknya kita harus bikin film bareng,’ kata Ken yang kebetulan tertarik menulis. Ia mengasah kemampuan menulis dibantu teman sekolahnya, penulis buku termuda di China.
“Saya mulainya kan penulis naskah. Akting itu tantangan baru buat saya. Kan saya ambil kuliah fotografi, jadi mungkin bisa lebih nyatu bidangnya sama kakak saya. Jadi kami bisa lebih berkreasi bersama," ujar pria berusia 20 tahun ini.
Selain kompak di film, kakak beradik ini juga sama-sama jago wushu. Ken memang atlet wushu yang pernah menjadi anggota tim Wushu Sanda DKI Jakarta, sebelum kemudian merambah profesi penulis naskah sekaligus aktor.
Livi menempuh pendidikan wushu di Shi Cha Hai Sports School, Shanghai. Sementara Ken yang sudah bersekolah wushu di Beijing selama delapan tahun. Kepiawaian Ken beraksi wushu jadi gagasan bagi Livi untuk menggarap Brush with Danger.
Kini, para penonton film tersebut bisa melihat sendiri kepiawaian kakak beradik ini bertarung wushu, sekaligus memerankan karakter Alice Qiang dan Ken Qiang, plus Livi sendiri kebagian tugas tambahan sebagai sutradara.
"I like working with my sister, karena kita saling melengkapi jadi lebih baik kalau ada tantangan dihadapin bersama," imbuh Ken. Livi pun menyatakan hal senada, "Saya dan Ken seperti yin-yang, jadi saling lengkapin kekurangan masing-masing.”
Sekalipun kompak di film laga, namun genre ini bukan satu-satunya fokus Livi. “Kalau ada cerita bagus saya mau sutradarain walaupun bukan genre action. Film komedi atau drama itu saya suka banget, jadi saya terbuka untuk film apa pun,” jelas Livi.
Bukan perkara mudah bagi Duo Zheng menggarap film, sekalipun keduanya memiliki bakat serta didukung kru profesional. Soal lokasi syuting sempat jadi perkara mengingat pemerintah kota Seattle, Washington, menerapkan peraturan tertentu.
"Di Seattle itu cukup sulit untuk syuting, 70 persen warga setempat harus setuju akan diadakan syuting di situ," papar Livi. Bila pengumpulan tanda tangan warga gagal mencapai 70 persen maka diulang lagi permohonannya sampai bisa ke angka itu.
Setelah berhasil melewati halangan tersebut, akhirnya film ini dapat ditayangkan di beberapa kota, seperti New York City, Los Angeles, San Fransico, Seatlle, Dallas dan Ohio. Diakui Livi dan Ken, respon penonton di kota-kota tersebut terbilang bagus.
Brush with Danger sanggup bertahan rata-rata dua bulan di bioskop kota-kota tersebut. Bagi Livi, hal ini merupakan prestasi tersendiri. Setidaknya sudah ada pengakuan bagi film yang dikerjakannya setengah mati dengan penuh perjuangan.
"Salah satu pujian yang kita dapat itu dari Gubernur Oscar. Dia datang ke premiere film kami dan nonton sampai selesai," imbuh Ken. Kini. Livi dan Ken tengah mengusahakan filmnya premiere di Tanah Air dalam waktu dekat.
"Sekarang saya lagi urus perizinannya, saya sudah dapat domilisi sama NPWP, kami baru masukin IUP-nya. Jadi kira-kira izinnya baru selesai bulan Agustus atau September dan moga-moga filmnya bisa tayang," kata Livi yang memfavoritkan Leon the Professional karya Luc Besson.
Usai studi S2, Livi ingin memproduksi film di Indonesia dengan soundtrack atau iringan musik Indonesia. Livi bahkan sudah mengajak executive producer (EP) dan director of photography (DOP)-nya berlibur di Indonesia selama seminggu.
"Saya pengen banget bukan hanya syuting di Indonesia tapi juga memasukkan musik-musik Indonesia di soundtrack film-film saya berikutnya. EP dan DOP saya sudah pernah saya bawa ke sini, ternyata mereka antusias.”
Lebih lanjut Livi menerangkan, “Mudah-mudahan tahun depan saya, EP dan DOP bisa keliling Indonesia untuk lihat-lihat lokasi syuting. Saya enggak mau bikin film asal-asalan, jadi baru bisa bikin di Indonesia selesai kuliah S2 nanti," tutup Livi.