Dilema Biopik Indonesia: Bukan Film Sejuta Umat

Nadi Tirta Pradesha | CNN Indonesia
Kamis, 09 Jul 2015 08:31 WIB
Biopik yang menghuni bioskop Indonesia memerlukan biaya besar dan riset mendalam untuk kemudian ditonton tak lebih dari satu juta orang.
Ilustrasi: Kartini garapan Hanung Bramantyo, yang akan rilis April 2016. (Dok. Twitter/robertronny)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai langkah bisnis, memproduksi film biopik agaknya bertentangan dengan tujuan akhir mendulang profit. Film biopik yang menghuni bioskop Indonesia dari tahun ke tahun pasca Reformasi memerlukan biaya besar dan riset mendalam untuk kemudian ditonton tak lebih dari satu juta orang.

Dalam acara diskusi Dari Gie hingga Tjokroaminoto: Sebuah Diskusi tentang Film Biopik, hadir kritikus film dan wartawan majalah Tempo Leila Chudori, dosen FISIP UGM serta Budi Irawanto.

Keduanya memaparkan mengapa film biopik yang tak menguntungkan terus diproduksi. Walau tak menghadirkan narasumber dari produsen film, diskusi pada Rabu (8/7) di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, tersebut tetap berjalan bernas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini fenomena yang menarik karena membuatnya mahal, kalau saya hitung rangenya 9-11 M, itu belum ongkos promosi. Penontonnya tidak terlalu banyak sebenarnya, tidak terlalu populer juga dibandingkan film religi yang penontonnya rata rata di atas 1 juta. Tapi tetap ada yang bikin minimal setahun satu film," papar Leila.

Leila meneruskan bahwa dalam dua tahun ini pun Indonesia akan tetap disuguhi biopik. Film-film tersebut Jendral Soedirman karya Viva Westi, disusul Kartini oleh Hanung Bramantyo dan Mohammad Hatta oleh Erwin Arnada, pada 2016.

Sinema biopik yang memiliki narasi kronologis, menurut Leila, masih dieksekusi seperti menonton curriculum vitae seorang tokoh yang divisualkan. Mengangkat contoh Gie (2005), Leila berpendapat bahwa datarnya narasi menjadi "penyakit" biopik di Indonesia.

"Yang saya lihat di Gie membuat saya berkesimpulan bahwa masalah film biopik di Indonesia seperti CV yang divisualkan. Dengan kata lain, mana dramanya, apa persoalannya? Itu menjadi problem yang cukup besar buat saya sebagai penonton," ucap Leila.

Membandingkan dengan The Social Network (2011) karya David Fincher yang berkisah tentang punggawa Facebook, Mark Zuckerberg, Leila menekankan bahwa biopik perlu dibumbui.

Dalam The Social Network, Zuckerberg ditampilkan terinspirasi membangun Facebook setelah diputus kekasihnya. Namun lisensi puitika (dramatisasi cerita) sutradara juga tak serta merta dapat dieksekusi tanpa persoalan.

"Seberapa jauh sutradara bisa menciptakan adegan fiktif? Ketika adegannya sudah ada, persoalannya jadi apakah soal adegan fiktif atau tidak belivieable? Kalau Anda sudah mempetanyakan apakah adegan itu benar atau tidak, maka si sutradara sudah tidak berhasil meyakinkan Anda bahwa adegan itu adalah bagian dari cerita," ujar Leila.

Lalu, ia mencontohkan adegan Soekarno menggiring pelacur ke pasukan Jepang di film Soekarno (2013) sebagai adegan yang terasa "fiktif"-nya.

Sedangkan Budi justru menyibak salah satu sebab film biopik masih saja diproduksi. Menurutnya, elemen kehidupan ganda dari aktor yang memerankan tokoh terkenal berpengaruh pada popularitas film biopik.

"Ini yang membedakan film dengan sejarah tertulis, dalam film ada double life. Di satu sisi, ada aktor yang melakonkan tokoh itu, yang dia juga di luar layar merupakan tokoh populer. Kedua, cerita yang kita lihat di layar adalah penubuhan—embodiment—dari kisah di buku sejarah yang tidak bisa kita ketahui. Tidak mengherankan mengapa biopik menjadi populer," jelas Budi.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER