Dilema Posisi Bioskop dalam Perfilman Indonesia

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 07 Agu 2015 19:33 WIB
Sepatutnya Indonesia meningkatkan kualitas budayanya, agar film—salah satu unsur duta budaya—dapat menunjukkan kekuatan Indonesia sesungguhnya.
Ilustrasi (CNNIndonesia GettyImages/agencyby)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keberadaan bioskop sebagai lokasi dan barometer laris tidaknya sebuah film menjadi hal yang krusial bila ingin melihat kemajuan industri perfilman. Sudah menjadi kewajaran bila bioskop membutuhkan perhatian lebih bila ingin perfilman sebuah negara maju.

Namun kondisi tersebut rasanya belum terlihat jelas dalam peraturan perfilman yang dimiliki Indonesia. Peraturan perfilman yang tergambar dalam Undang-undang Pefilman justru dinilai banyak pihak belum menggambarkan semangat memajukan film nasional.

"Keberadaan bioskop itu mutlak diperlukan untuk memajukan perfilman Indonesia," kata Slamet Rahardjo, mantan Ketua Badan Peertimbangan Perfilman Nasional kepada CNN Indonesia, Jumat (7/8). "Namun melihat UU yang ada sekarang, apakah semuanya sudah dilaksanakan? Nyatanya tidak. Banyak yang dilanggar."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam UU Perfilman, pembahasan mengenai pertunjukan film, baik berbentuk pelaku usaha ataupun pelaku kegiatan yang dalam hal ini adalah terkait dengan pelaksanaan, pembatasan jadwal menonton, serta pembatasan perbandingan jumlah film Indonesia dan asing yang tayang di Indonesia.

Namun UU tersebut belum dapat menjawab permasalahan yang dirasakan para sineas, yaitu beratnya persaingan film nasional dengan film Barat yang masuk ke Indonesia. Dengan semakin banyaknya film Hollywood dan terbatasnya bioskop yang ada, maka tak ayal terjadi rebut jam tayang.

"Menurut saya, seharusnya sudah ada satu perlakuan khusus berkaitan dengan bioskop, karena bagaimana pun juga, bioskop masih menjadi hal utama dalam dunia perfilman," kata Slamet.

Menonton film memang tidak harus melulu di bioskop. Indonesia pun pernah mengalami berbagai jenis media penayangan film, mulai dari layar tancap, DVD player, hingga bioskop megah berteknologi tinggi. Namun alternatif penayangan film tersebut masih dianggap dalam industri perfilman bukan menjadi hal yang utama.

Film dan bioskop ibarat menjadi sebuah paket yang tak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pun keberadaan film sendiri juga tidak dapat dipisahkan dengan faktor ekonomi serta misi kebudayaan yang menyertainya.

"Sekarang permasalahannya, pemerintah berpihak kepada siapa? Sistem ekonomi apa yang digunakan? Saat ini kan semua menggunakan sistem ekonomi pasar, ya pasar itu yang menguasai pasti Hollywood," kata Slamet.

Ucapan Slamet ibarat menyayat kondisi perfilman saat ini. Ketika para sineas berusaha mati-matian memproduksi film nasional, baik dengan kualitas yang baik maupun yang belum dipandang bagus oleh sebagian masyarakat, pasar bebas mengundang Hollywood masuk dengan film-film yang rasanya sulit untuk dibandingkan dengan film Indonesia.

Perbincangan tentang film berarti membicarakan masalah kebudayaan dan juga bangsa. Slamet Rahardjo
Misalnya, pada momen Lebaran lalu, empat film Indonesia tampil serempak mengisi libur panjang. Namun kondisi yang membahagiakan sineas lokal tersebut kemudian berubah ketika Ant-Man dirilis dan memindahkan antrean penonton dari film lokal ke barisan Hollywood.

Selepas dua pekan tayang dengan penuh tumpah darah, hanya ada dua film dari empat yang berhasil bertahan dengan penonton yang satu-dua masih mengisi bangku bioskop. Comic 8: Casino's King dan Surga yang Tak Dirindukan sanggup menghimpun lebih dari satu juta penonton, sedangkan yang lain sudah turun layar bahkan ketika belum menikmati penuhnya bangku bioskop.

Slamet mengibaratkan bahwa perbincangan tentang film berarti membicarakan masalah kebudayaan dan juga bangsa. Hollywood dinilai Slamet memang didukung penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat guna menyebarkan kebudayaan Amerika. Perlahan tapi pasti, semua orang keranjingan menonton film Hollywood.

"Namun apakah film kita juga sudah bagus betul untuk bersaing? Sadari dan berendah hatilah. Patutlah berkaca kepada India dan Iran yang perlahan bangkit dengan bangga akan filmnya sendiri. Dan Amerika pun kini menyadari Asia adalah satu-satunya pasar mereka. Indonesia ini diincar banyak negara," kata Slamet.

Bagi Slamet, yang terpenting adalah posisi film yang dilihat bukan hanya soal masalah hiburan ataupun komoditas ekonomi belaka. Namun sudah sepatutnya Indonesia berpikir untuk lebih maju dengan bangga dan meningkatkan kualitas budayanya hingga kemudian film, sebagai salah satu unsur duta budaya, dapat menunjukkan kekuatan Indonesia yang sesungguhnya.

(end/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER