Jakarta, CNN Indonesia -- Bioskop bukan lagi satu-satunya media menonton film. Sudah ada televisi, bahkan hadir dengan format
on-demand maupun kabel berlangganan. Siaran
streaming, YouTube, DVD, pun mengintai. Apakah itu lantas mengancam bisnis bioskop?
Bagi jaringan bioskop terbesar di Indonesia, 21 Cineplex, jawabannya tidak. Catherine Keng, Corporate Secretary 21 Cineplex mengatakan, banyaknya alternatif menonton kini merupakan kemajuan teknologi yang harus diapresiasi secara positif. Penonton jadi punya banyak opsi dan lebih mudah menyalurkan hobinya itu.
"Tapi kalau ilegal, tentu saja kami sangat tidak
support," kata Catherine saat dihubungi
CNN Indonesia melalui telepon, pada Jumat (7/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia masih yakin, orang yang lebih peduli pada kualitas film dan kenikmatan menonton, pasti masih memilih bioskop ketimbang sarana lain. "Kalau yang ya sudah pokoknya murah dan bisa nonton satu keluarga, mungkin akan memilih yang lain,
download atau DVD," ujarnya.
Catherine optimistis, menonton film di bioskop masih menjadi gaya hidup pilihan masyarakat, terutama kaum urban. Meski kemacetan dan harga tiket menonton terkadang menjadi pertimbangan, film masih jadi hiburan termurah masyarakat.
"Lalu, ada film-film tertentu yang berbeda ketika
nonton di bioskop dan di rumah. Walaupun di rumah ada
sound system, bagaimana pun suasana di bioskop itu sangat suportif."
Karena itu Catherine sangat mendukung keinginan Presiden Joko Widodo yang akan mengucurkan insentif untuk membangun bioskop di berbagai daerah. Jokowi menargetkan, Indonesia harus punya 5.000 sampai 6.000 layar bioskop untuk sekitar 240 juta masyarakatnya.
Ia menyampaikan, 21 Cineplex sendiri punya target ekspansi, terutama ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa, untuk menghadirkan bioskop secara merata. Sampai 2017, jaringan bioskop pertama itu punya target 1.000 layar bioskop.
Seperti Catherine yang tak gentar menghadapi berbagai alternatif menonton, Wishnutama Kusubandio pun percaya diri jika jasa
streaming mulai berupaya merongrong televisi. Salah satu pendiri PT. NET Mediatama itu yakin
streaming tidak mengganggu bisnis televisi.
Ditemui
CNN Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu, Wishnutama menjelaskan ada perbedaan mendasar antara televisi Indonesia dengan jasa
streaming yang belakangan mulai marak di luar negeri, seperti Netflix.
Jasa itu harus berbayar. Biayanya sekitar Rp150 ribu per bulan. Karenanya, Wishnutama tidak menganggap pihaknya bersaing dengan itu.
Selain menang dari sisi biaya, televisi juga bisa menguatkan diri dengan konten. Program televisi harus dibuat kreatif dan berkualitas. "Jangan langsung berpatokan pada
rating, karena
rating akan datang sendiri. Menurut saya, saat ini eranya sudah berbeda. Bagus atau tidaknya sebuah program tidak hanya bisa dinilai melalui
rating aja," ujar Wishnutama.
(rsa/rsa)