Asyiknya Menonton Film di Bioskop vs Arena Alternatif

CNN Indonesia
Jumat, 07 Agu 2015 21:10 WIB
Perlu ada arena alternatif untuk memutar film alternatif, seperti film pendek, film dokumenter, atau film yang tayang sebentar di bioskop.
Pemutaran film tak hanya di bioskop. Bisa juga di aula yang memiliki amfiteater seperti Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta (CNNIndonesia/Vega Probo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Niatan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) untuk memperbanyak jumlah bioskop di Indonesia tentu saja disambut hangat para moviegoers. Sebab jumlah bioskop di Tanah Air memang terbilang sedikit dibanding jumlah penduduk.

“Regulasi kita akan mengarah ke sana, sehingga penyebaran bioskop bisa menyebar di Tanah Air," kata Jokowi saat berdialog komunitas kreatif di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD Tangerang, pada awal pekan lalu.

Salah satu moviegoer yang bersuka cita menyambut kabar baik ini, Meninaputri Wismutri, mantan jurnalis yang juga aktif bertindak sebagai film festival programmer and organizer. Ia mengaku sangat mendukung niatan Jokowi memperbanyak jumlah bioskop.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sebagai pencinta film yang sudah menjajal berbagai macam arena menonton, menurut saya, yang paling ideal adalah bioskop,” kata Menina saat dihubungi CNN Indonesia, pada Jumat (7/8).

Bioskop memiliki semua elemen yang membuatnya ideal sebagai arena menonton film, karena memang dibangun sedemikian rupa untuk mengakomodir segala aspek estetika maupun teknis.

Elemen itu meliputi tata interior, rasio layar, materi proyeksi, tata cahaya, temperatur ruangan, tata suara, sampai karpet empuk. Semua itu menjadikan bioskop ideal untuk menonton film.

Sayangnya, jumlah bioskop di Indonesia masih kurang dibanding permintaan dan distribusi film. “Mau tak mau harus menonton di arena altenatif: home theatre, layar tancap, cinema rental.”

Pilihan mengutamakan menonton film di bioskop, diakui Menina, sebagai cara ia menghargai hasil kerja “orang sekampung” dari cerita, efek, lampu, kostum, dekorasi, sampai soundtrack.

“Hasil kerja satu kampung ini harus dihargai dengan menontonnya di bioskop agar dinikmati maksimal dan legal,” kata. “Penting bagi saya untuk menikmati film seutuhnya agar puas lahir batin.”

Karena itu, Menina menghindari ketidaknyamanan menonton film di laptop/desktop. Ia juga paling anti mengunduh atau streaming film secara ilegal di internet.

Senyap, film penting yang sulit menembus bioskop megah karena dipastikan tak lulus Lembaga Sensor Film. Karena itu, ditayangkan di festival film atau arena menonton film lainnya. (CNN Indonesia Free Watermarks/dok.LPPM Sintesa)
Arena Alternatif untuk Film Alternatif

Senada dengan Menina, Manajer Kineforum Alexander Matius juga menilai niatan Jokowi memperbanyak jumlah bioskop itu menarik. Namun menurutnya, perkara  bioskop cuma hanya kuantitas.

“Sampai sekarang tidak ada regulasi jelas yang mengatur masa tayang film di bioskop,” kata Matius saat dihubungi CNN Indonesia via telepon, pada Jumat (7/8).

Matius menyesalkan film-film Indonesia yang diturunkan dari layar studio di bioskop karena kalah bersaing dengan blockbuster Hollywood. Padahal ceritanya tak kalah bagus.

Karena itu, ditegaskan Matius, perlu ada arena alternatif untuk memutar film-film yang tak diputar di bioskop besar, seperti layar tancap atau aula yang dilengkapi amfiteater.

“Film seperti Bulan di Atas Kuburan itu bagus. Tapi diputar beberapa hari saja di bioskop,” kata Matius. “Begitu juga Senyap. Ini film penting, tapi tidak lulus Lembaga Sensor Film.”

Menyadari ada begitu banyak film bagus yang membutuhkan layar alternatif, Kineforum berinisiatif mengadakan pemutaran film, di gedung maupun layar tancap—yang biasa disebut misbar.

Kineforum—yang berada di bawah payung Dewan Kesenian Jakarta—memang didesain sebagai wadah exhibition film, dari film pendek, film dokumenter, atau film yang tayang sebentar di bioskop.

Kineforum selalu mendukung digelarnya festival, diskusi dan acara lain dalam konteks alternatif, seperti pemutaran film Kantata Takwa atau perhelatan Festival Film Purbalingga.  

Film Kantata Takwa dibuat pada tahun 1990-an, namun belum pernah ditayangkan di bioskop megah. Selama 25 tahun film ini “dibungkam” dan hanya diputar di bioskop kecil.

Sementara Festival Film Purbalingga diadakan agar produksi film dan bakat sineas lokal tak sia-sia. Mereka juga mendapat tempat layak untuk diputar, disaksikan, dan diapresiasi.

Di Purbalingga, menurut Matius, ada banyak sineas berbakat yang aktif memproduksi film lokal. Namun amat disayangkan, di kota di Jawa Tengah ini tidak ada satu pun gedung bioskop.

Layar lebar harus terkembang lebih banyak, namun lokasinya tidak terbatas di dalam gedung bioskop di mal yang jelas-jelas komersil: menuntut harga tiket masuk relatif mahal.  

“Jadi niatan memperbanyak layar bioskop itu penting. Tapi sekali lagi, persoalannya tak hanya berhenti sampai di situ,” kata Matius. “Harus ada manajemen, program dan regulasi yang jelas.”

[Gambas:Youtube]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER