Bali, CNN Indonesia -- Dentuman demi dentuman rasanya tak berhenti terdengar dari kawasan Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali. Kawasan gunung kapur tandus diubah menjadi panggung bagi 30 musisi juga ribuan pencinta Electro Dance Music (EDM) dari berbagai belahan dunia dalam Dreamfields Festival 2015.
Ribuan pecinta EDM, baik dari Indonesia, Asia Tenggara, hingga Swedia tumpah mengerumuni dua panggung utama Dreamfields. Dua panggung utama tersebut adalah Barong dan Butterfly, serta panggung dari sponsor. Mereka datang untuk satu tujuan, berpesta.
Sejak pintu dibuka pukul 16.00 WITA, pengunjung datang silih berganti. Kondisi ini terus terjadi hingga malam hari, lalu lintas dari Denpasar menuju GWK jadi padat. Meski pesta baru dimulai selepas matahari tenggelam, tak menghalangi pengunjung untuk datang lebih awal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lepas matahari tenggelam, nada demi nada elektrik yang bising dan menghentak mulai dimainkan para DJ secara bergilir. Tiga panggung utama yang ada pun serempak menghentak GWK. Meski ada tiga panggung, namun penonton lebih memilih Barong Stage dan juga Butterfly Stage sebagai arena berpesta.
"Ini kedua kali saya bermain di Bali, yang saya harapkan penonton di sini semakin bersemangat dan lebi bersemangat lagi ketika menonton pertunjukkan ini," kata Andrew Rayel, salah satu pengisi Dreamfields kepada CNN Indonesia, Sabtu (15/8).
Pesta DimulaiDJ wanita nomor satu di Indonesia, DJ Yasmin, memanaskan arena Butterfly Stage pukul 19.30 WITA. Wanita yang pernah mendapatkan nominasi Anugerah Musik Indonesia ini mampu menggoyang penonton meski malam masih 'terlalu dini'.
Terpisahkan hanya oleh dinding karang setebal 50 meter tak lantas membuat Barong Stage kalah 'panas' oleh tetangganya. Penampilan New World Sound yang dimulai pukul 20.00 WITA. DJ baru Australia ini bak kesurupan untuk membuat penonton yang berjingkrak-jingkrak dengan menggunakan remix Uptown Funk dari Mark Ronson.
DJ Belanda, INDYANA menggemparkan Barong Stage dengan duetnya bersama Cakra Khan dalam single Heavy Dreamer. Dalam single tersebut, ia juga menggandeng DJ asal Belanda, Justin Strikes dalam permainannya.
Awalnya memang terasa asing mendengar Cakra yang biasanya menyanyikan lagu ballads nan galau dengan suaranya yang serak bergabung dalam sebuah single EDM. Tapi rupanya Cakra membuktikan kepiawaian INDYANA untuk menggabungkan suaranya dengan melodi EDM yang susah ditebak tersebut. Hasilnya? Penonton pun berjingkrak dan bersorak.
Matrixx, sang penyelenggara terbilang cukup cerdik dengan memilih GWK sebagai lokasi Dreamfields. Kawasan batu kapur yang memang dibuat dan dapat digunakan sebagai lokasi konser ini membuat pantulan suara terkurung dalam satu arena. Pantulan suara Barong dan Butterfly tak saling menimpa satu sama lain.
Namun sayang, meski sound terdengar menggelegar, tapi masih belum sebaik kualitas konser EDM internasional lantaran suara masih terdengar tenggelam pada beberapa bagian penampilan.
Untungnya, aksi apik para pemusik ini didukung oleh permainan lampu, cahaya, laser, suara bombastis, dan juga dekorasi panggung yang unik menjadikan pandangan yang eksentrik dan enerjik bagi para penonton Dreamfields.
Permainan kembang api yang ditawarkan semakin membuat suasana meriah dan juga menghangatkan para pasangan yang datang untuk bermesraan sembari mendengar lagu disko tersebut.
Dari Nyata hingga AbsurdSemakin malam penonton semakin beringas. Kombinasi alkohol dan juga lagu EDM sukses menghanyutkan ribuan yang hadir kala itu. Berbagai bentuk joget pun mereka lakukan, mulai dari gaya tangan khas DJ, hingga yang tak dapat lagi ditebak tindakan yang mereka lakukan.
Penonton pun datang dengan berbagai macam kostum untuk berpesta, mulai dari pakaian sedikit resmi, sedikit resmi, seksi, ala indian. Rok tutu yang biasa dipakai para balerina juga ada di pesta musik ini. Uniknya, bukan perempuan yang memakai tutu, tapi seorang pria asing berotot. Semua dilakukan yang penting hati senang.
"Tetapi penonton tahun ini lebih sedikit dibanding tahun lalu, kemarin penuh satu wilayah stage, sekarang tidak sepenuh itu," kata Alya Pravita, penonton yang datang dari Yogyakarta. Baginya, Dreamfields kali ini tak sesukses tahun lalu meskipun juga tak dapat dibilang gagal.
Lokasi yang terlihat cukup kosongan terlihat di bagian belakang Barong Stage. kekosongan tersebut dimanfaatkan para penonton untuk duduk-duduk atau 'piknik' dadakan. Kehampaan yang lebih jelas terasa di wilayah Butterfly Stage, lebih dari setengah jumlah penonton saat DJ Yasmin tampil raib entah ke mana.
Seperti selayaknya festival EDM lainnya, semakin malam maka tensi musik ataupun penampilan akan semakin meningkat. Hal ini terlihat dari penampilan Andrew Rayel yang tak henti-hentinya menaikkan tempo dari setiap lagu EDM yang ia mainkan, selain karena memang itu adalah ciri khasnya.
Andrew Rayel rasanya ingin membenarkan julukan 'the new of Armin van Buuren', dengan komposisi rumit antara orkestra, klasik, EDM dan lentiknya jari serta energinya yang seolah tak habis-habis, ia sukses membuat penonton selalu jingkrak sepanjang pemainannya.
Itu belumlah puncak, masih ada VINAI, the Italian Stallion, yang datang di sesi terakhir acra Dreamfields, pukul 2.45 WITA. Penampilan VINAI sebenarnya sangatlah menggoda untuk membuat tubuh bergoyang dan berjingkrak lebih gila dari yang ditampilkan oleh Andrew Rayel.
Namun sayang, banyak dari penonton yang kelelahan dan memilih menikmati duo tampan dariItalia itu dengan duduk-duduk di antara sampah minuman yang berserakan di pelataran GWK. Tapi tak sedikit yang terdoping oleh alkohol dan yang lainnya, masih sanggup bergoyang walaupun gerakannya absurd.
Kondisi mengenaskan terjadi di Butterfly Stage, tempat Angger Dimas, DJ asal Indonesia yang telah memiliki karier internasional. Penampilannya tak lebih ditonton dari seratus penonton, yang kebanyakan justru warga negara asing, berkumpul dan menggila di depan panggung.
Angger Dimas termasuk anak bangsa yang membanggakan. Ia pernah dipercaya oleh Steve Aoki untuk berduet menggarap sebuah album, yang mana juga menggandeng Iggy Azalea. Tetapi yang terjadi di Dreamfields rasanya menjadi penghargaan yang buruk terhadap prestasi anak bangsa.
Angger bermain tak kalah baik dengan musisi internasional lain, karena selera musik berbeda-beda dan kebetulan VINAI jarang berada di Indonesia, sehingga menyedot penonton Dreamfields di waktu yang kritis karena mengantuk serta kelelahan.
Tetapi kondisi Angger lebih beruntung ketimbang panggung Dreamfields ketiga, yang lebih kecil. Panggung tersebut telah ditinggalkan penonton sedari tengah malam untuk fokus di dua panggung utama.
Manajemen yang Kurang BaikPelaksanaan Dreamfields sebenarnya dapat menjadi peluang pariwisata yang besar bagi Bali dan juga Indonesia. Tercatat bau dua festival EDM yang tergolong besar, asli dari Indonesia, yaitu Djakarta Warehouse Project dan juga Dreamfields Festival.
Bahkan, keduanya dapat dikatakan juga ikut menjadi tanda perkembangan musik EDM di Asia Tenggara. Selain kedua acara EDM tersebut, masih ada Future Music Festival Asia, turunan FMF yang diadakan aslinya di Australia, yang diselenggarakan di Singapura.
Dreamfields pun sebenarnya memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi pencinta EDM. Buktinya saja, orang-orang Singapura, Malaysia, Timor Leste, hingga Swedia rela datang ke Bali dan menghabiskan uang Rp 600 ribu untuk tiket acara.
Namun sayang, masih banyak catatan untuk acara yang diselenggarakan oleh event organizer asal Belanda ini. Salah satunya adalah manajemen yang masih belum rapi, bahkan ditunjukkan oleh panitia lokalnya sendiri.
Panitia lokal seolah kurang paham dengan acara yang diselenggarakan. Kesan 'masa bodoh' ketika menghadapi pertanyaan dari pengunjung, rasanya menjadi catatan yang cukup penting untuk diperhatikan.
Hal yang cukup disayangkan adalah sikap panitia lokal yang seolah memang tak menghargai peraturan yang mereka buat sendiri. Ketika acara sudah usai, dengan terang-terangan mengadakan 'pesta sendiri' dengan alkohol dan bertingkah sedikit merusak properti sendiri. Tingkah tidak profesional yang sebenarnya disayangkan untuk festival kelas internasional.
Kondisi yang lain juga terlihat dari dengan mudahnya anak kecil masuk dan menonton acara yang notabenenya tontonan dewasa ini. Beberapa penonton justru malah mengajak anaknya untuk masuk ke dalam festival yang kapasitas suaranya tidak baik bagi pendengaran anak-anak.
Belum lagi masalah kebersihan. Terlihat banyak sampah yang berserakan di mana-mana, membuat area GWK seolah menjadi tempat pembuangan sampah baru. Toilet yang disediakan pun menjadi pertimbangan, lantaran yang tidak dapat ditutup dan harus dijaga oleh petugas toiletnya.
Terlepas dari itu semua, pelaksanaan Dreamfields tahun ini terbilang cukup membawa kesan bagi para pecinta EDM baik dari dalam maupun luar negeri. Meski musik EDM kerap diidentikkan dengan alkohol dan obat-obatan, tetapi tidak ada salahnya menikmati EDM sama seperti jenis musik yang lain, secara dewasa dan bertanggung jawab.
(chs/chs)