Jakarta, CNN Indonesia -- Bait sajak Wiji Thukul meledak-ledak. Namun siapa sangka di balik itu sosok sang pengarang yang juga aktivis ternyata lucu dan menyenangkan. Begitulah kenangan yang melekat di benak salah seorang kawan dekatnya, penulis Linda Christanty.
Sebagaimana ditulis dalam
blog-nya, Linda mengaku, "mendengar nama Thukul pertama kali, pada 1994." Temannya menyarankan untuk bertemu Thukul, yang ketika itu, terpilih menjadi ketua divisi budaya Partai Persatuan Rakyat Demokratik (PDR).
"Thukul teman yang lucu. Dia suka menceritakan hal lucu dan membuat kami tertawa," kata Linda kepada CNN Indonesia via surel, pada Rabu (26/8). "Selama bekerja sama dengannya dulu, saya tidak pernah melihat dia tidak bersemangat."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam era keterbukaan, tidak boleh ada pembungkaman. Tiap tindak pembungkaman pikiran kritis atau pelarangan terhadap kebebasan berpendapat tentunya harus dilawan.Linda Christanty |
Selain lucu, Linda juga memuji Thukul sebagai orang yang sangat kreatif dan berani. Sebagai seniman yang lahir, tumbuh dan hidup di tengah rakyat yang dibelanya, Thukul tahu benar bagaimana mengatasi hal-hal sulit.
"Dia menjadi suara bagi mereka yang diperlakukan tidak adil," kata perempuan penulis buku
Jangan Tulis Kami Teroris (2011). Lalu, ia menceritakan pengalamannya suatu kali berpartisipasi dalam sebuah acara diskusi di rumah Thukul di Solo.
Tiba-tiba, Linda menuturkan, Sipon, istri Thukul, menggiringnya ke bagian belakang rumah. Di situ, ada teman yang siap mengungsikan Linda ke tempat lain, karena rumah Thukul sudah "dikepung" intelijen militer.
Thukul dan teman-temannya yang kalangan aktivis tak ingin Linda juga ditangkap dan diinterogasi. Sementara mereka sendiri sudah langganan diinterogasi. Pengalaman ini membulatkan tekad Linda untuk memastikan aksi pembungkaman aktivis tidak terjadi lagi.
"Dalam era keterbukaan, tidak boleh ada pembungkaman. Tiap tindak pembungkaman pikiran kritis atau pelarangan terhadap kebebasan berpendapat tentunya harus dilawan," kata salah satu partisipan Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman.
Linda sepenuhnya setuju dengan bait sajak karya Thukul yang sangat terkenal, "Hanya ada satu kata: lawan!" Dulu, bait sajak ini selalu dibacakan sang aktivis dalam aksi-aksi massa di era Presiden Soeharto hingga menjelang akhir kekuasaannya, pada 1998.
Hingga kini, Linda mengaku, masih menjalin silaturahmi dengan keluarga Thukul. Belum lama berselang, Linda dan teman-temannya mendukung putra Wiji Thukul, Fajar Merah, menggelar satu pertunjukan musik di Goethe Haus, Jakarta.
Fajar, di mata Linda, berbakat dalam musik dan lirik lagunya cukup kritis. "Sayang sekali, saya tidak bisa ikut menonton waktu itu," ia menyesali. Namun yang jelas, dukungan Linda selalu ada untuk keluarga Thukul.
Sekitar tiga tahun, Linda mengisahkan, dirinya mengajak Sipon, juga dua teman baiknya, Mugiyanto dan Wilson, berkeliling Jakarta. Semata untuk bersenang-senang. Sepanjang perjalanan, di antara mereka tidak ada pembicaraan politik.
'Itu merupakan rencana dua teman saya untuk membuat Mbak Sipon gembira dan kami memang banyak tertawa," kata Linda yang siap mendukung rencana pendirian yayasan untuk Wiji Thukul, jika ada.
“Seperti kata Wiji Thukul dalam salah satu sajaknya, 'Hidup ini harus berlanjut.'"
(vga/vga)