Pontianak, CNN Indonesia -- Tidak ada peperangan yang pecah di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, dalam beberapa tahun belakangan ini. Kota ini menjadi rumah dari tiga etnis mayoritas, yakni China, Dayak dan Melayu, yang mampu hidup rukun, damai, berdampingan satu sama lain semenjak pertama kali kota berdiri, pada 23 Oktober 1771.
Kendati perang tak pernah meletus di Pontianak, mayoritas warga kota ini mengaku sangat terbiasa mendengar suara dentuman meriam. Bahkan, pada kesempatan-kesempatan tertentu di seluruh penjuru Kota Khatulistiwa "semarak" dengan suara yang terdengar seperti bom atau tembakan senjata api itu.
Berdasarkan pengakuan dari para warga yang ditemui CNN Indonesia, suara dentuman meriam bersumber dari karbit yang diledakkan di meriam-meriam milik penduduk yang tinggal di pinggiran Sungai Kapuas, tepatnya di dekat Masjid Sultan Abdurrahman atau Masjid Jami Pontianak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rupanya, sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk menembakkan meriam karbit ke udara untuk menyemarakkan hari-hari besar atau perayaan tahunan tertentu, misalnya Hari Raya Idul Fitri, Lomba Meriam Karbit, dan karnaval berskala nasional seperti Karnaval Khatulistiwa yang dihelat pada akhir pekan lalu.
Menurut mitos, nama Pontianak berkaitan dengan kisah pendiri kota sekaligus sultan pertama, Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang sering diganggu oleh hantu kuntilanak tiap kali menyusuri Sungai Kapuas.
Ia terpaksa harus melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandai tempat jatuhnya meriam sebagai wilayah kesultanan yang akan ia dirikan.
Salah seorang warga, Emma, guru di Taman Kanak-kanak Mujahidin, 24 tahun lalu, berpindah dari rumahnya di Kelurahan Kota Baru di wilayah Pontianak Selatan ke Kelurahan Tanjung Raya di wilayah Pontianak Timur. Kini, rumah Emma berdekatan dengan Masjid Jami.
Emma berkisah, di awal kepindahannya ke Tanjung Raya, ia sempat terheran. Menjelang Ramadhan ia harus rela mendengarkan gemuruh meriam bersahutan dari sore hingga larut malam. Begitu seterusnya hingga seminggu setelah Hari Lebaran.
"Awal pindah ke sini saya terheran, kok, warga biasa saja dengar dentuman meriam, padahal semua dinding rumah bergetar," ujar Emma.
Tak berhenti di sana, Emma sampai harus berhenti memasang hiasan dinding kesayangan yang terbuat dari bahan keramik, karena getaran yang dihasilkan oleh dentuman meriam sangat kuat sehingga membuat hiasan dinding tersebut berjatuhan dan pecah.
Wanita berusia 49 tahun ini lantas mengaku sedikit lebih lega karena pemerintah daerah telah mengeluarkan aturan yang mengatur soal waktu peledakan meriam karbit.
"Sekarang diatur, dulu bebas. Pas menjelang seminggu mau Hari Raya Idul Fitri baru ada bunyi meriam sampai seminggu setelah Lebaran, juga ketika dilombakan," kata dia.
Sri (37), seorang ibu rumah tangga, bahkan mengumpamakan meriam karbit seperti "mainan khas" warga Pontianak. Ia pun memandang tradisi itu sebagai hal yang tidak bisa terlepas dari sejarah kota.
"Sudah semacam mainan khas Pontianak. Yang penting ada uangnya buat beli karbit," ujar dia.
Jika tidak memiliki uang yang cukup untuk mengisi amunisi meriamnya, ucap Sri, maka warga tidak akan segan untuk berkeliling ke rumah-rumah untuk mengumpulkan uang sukarela.
"Biasanya ke rumah-rumah meminta sumbangan. Padahal sudah dapat dari Wali Kota juga," kata dia.
Berdasarkan pengamatan CNN Indonesia pada saat perhelatan Karnaval Khatulistiwa yang menampilkan meriam karbit sebagai salah satu materi pertunjukan karnaval darat, warga tampak tidak terkaget setiap kali dentuman meriam memecah kota.
Ketika gladi bersih para penampil meledakkan meriam karbitnya ke udara secara acak dan bersahutan beberapa jam sebelum karnaval digelar. Namun, warga bergeming dan tetap melanjutkan aktivitasnya seakan tak mendengar suara apa pun.
Bisa dibayangkan jika meriam karbit ini diledakkan di kota besar lainnya seperti Jakarta atau Denpasar?
(ard/ard)