Mutualisme Militer dan Sineas Demi Akurasi

Dhio Faiz | CNN Indonesia
Minggu, 30 Agu 2015 09:23 WIB
Sineas membutuhkan peralatan perang canggih, lokasi, personel dan informasi. Militer pun membutuhkan media untuk memperlihatkan peranan mereka.
Ilustrasi Angkatan Laut AS (CNNIndonesia Reuters Photo/US Navy)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jangan heran bila suatu kali anda berjalan-jalan di Los Angeles,  California, Amerika Serikat (AS) dan mendapati kantor perwakilan militer AS “menyelip” di antara kantor sinema.

Hal ini tak terlepas mutualisme militer dan Hollywood yang sudah terjalin sejak era 1900-an. Keberadaan kantor perwakilan militer itu untuk memudahkan sineas Hollywood menggarap film bertema militer.

“Jelas harus ada eksploitasi mutual,” kata Lawrence Suid,  penulis buku Guts & Glory: The Making of the American Military Image in Film sebagaimana dikutip laman LA Times.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Tapi bukan propaganda terselubung,” Todd Breasseale, pensiunan Angkatan Darat AS, menambahkan. Tujuan kerja sama militer-Hollwood tak lain demi akurasi data dan adegan.

Selain film, kalangan militer juga dilibatkan sebagai ahli untuk penggarapan acara televisi, dokumenter dan video game. Namun tak semua ide Hollywood diterima pihak militer.

“Bila naskah film tak merepresentasikan nilai utama dan program militer, maka terpaksa kami tolak,” kata Kapten Russell Coons, direktur kantor Angkatan Laut di Information West.

Berkat hubungan militer dan Hollywood sudah terjalin mesra selama beberapa dekade, maka produksi film bertema militer atau perang dapat dibuat se-autentik mungkin.

Di satu sisi, para sineas membutuhkan peralatan perang canggih, lokasi, personel dan informasi, dan di sisi lain pihak militer pun membutuhkan media untuk memperlihatkan peranan mereka.

Militer AS menyokong kebutuhan Hollywood untuk proyek kecil maupun besar. Dari serial Army Wives sampai NCIS, juga dari film Transformers sampai Jurassic World.

Namun tak semua kebutuhan Hollywood dipenuhi begitu saja oleh pihak militer AS. Phil Strub, staf Pentagon bidang hiburan, menyatakan pihaknya juga memilah-milah naskah film.

Salah satunya, ia menolak penggunaan pesawat A-10 Thunderbolt atau Warthog untuk film Jurassic World. Menurutnya, pesawat ini bukan lawan sebanding bagi dinosaurus Pteranodon.

“Pesawat ini didesain untuk memuntahkan peluru berdaya ledak tinggi. Kasihan dinosaurusnya bila harus menghadapi peluru itu. Jelas bukan lawan yang sebanding,” kata Strub.

Strub telah berpengalaman selama 25 tahun sebagai ahli milter untuk lebih dari 50 film Hollywood, antara lain Transformers: Revenge of the Fallen, Ironman, juga serial Bones dan 24.

Para pemeran film Jenderal Soedirman yang melibatkan TNI AD. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/ed/NZ/15)
Kontroversi Kepentingan Pihak Tertentu

Tentu saja tak hanya Hollywood. Sineas Indonesia pun melibatkan militer dalam film-film bertema peperangan. Salah satunya, film yang baru saja dirilis di bioskop, Jenderal Soedirman.

Produksi film ini melibatkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Bahkan sang produser membeberkan adanya “campur tangan” langsung TNI AD dalam film ini.

“Keterlibatan TNI ada sejak awal produksi, sejak pembahasan skenario,” ungkap Associate Producer Jenderal Soedirman Kiki Syahnakri saat penayangan perdana film itu di kawasan Kuning, Jakarta, baru-baru ini.

Sontak pernyataan pensiunan TNI berpangkat letnan jenderal ini memicu tanda tanya: sejauh mana kepentingan kalangan militer ikut dalam proses kreatif sebuah film?

Diakui Kiki, keterlibatan TNI AD di film ini meliputi penyediaan bahan pendukung berupa materi riset, personel, juga persenjataan, semata demi akurasi adegan.

“Keterlibatan TNIAD yang paling besar tentu dalam dukungan personel. Pemeran yang menjadi KNIL, yang menjadi TKR, banyak yang dari TNI AD,” ujar Kiki.

“Kemudian juga peralatan seperti senjata-senjata kuno. Juga tank kuno yang hanya tinggal satu yang bisa jalan. Peluru, bahan peledak, didukung oleh TNI AD,” ia melanjutkan.

Keterlibatan TNI AD ini jadi sangat penting. Pasalnya ini mempermudah kerja tim produksi film yang dikomandoi sutradara Viva Westi.

Mereka jadi punya pasokan data dan peralatan yang memungkinkan untuk memproduksi film dengan kualitas tinggi dan dapat meraih pasar yang luas.

“Bikin film sejarah itu selalu dipertanyakan akan menjadi berat dan sebagainya. Itu kami sadari dari awal. Saya mencoba membawanya lebih ringan,” kata Westi.

Ia menambahkan, “Saya lebih banyak menampilkan aksi daripada dialog bertele-tele. Mungkin salah satu kiat dengan adanya pesawat, ada bom, anak-anak muda akan mau nonton.”

Kiki, Westi, dan tim film sadar bahwa memproduksi film berlatar sejarah memang tak mudah. Pasti ada pro-kontra yang berkembang di masyarakat.

Soal pertanyaan “sejarah versi siapa?” dan “ada campur tangan siapa?” Kiki dan tim produksi menanggapinya dengan santai karena mereka berusaha menghadirkan sejarah dengan objektif.

“Kami coba menghadirkan sejarah dari berbagai referensi yang kami baca. Kami menyajikan fakta secara objektif,” tuturnya. Film Jenderal Soedirman sudah tayang di bioskop mulai pekan ini.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER