Jakarta, CNN Indonesia -- Tepuk tangan memenuhi auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK), Grand Indonesia, Jakarta, usai lakon
Pangeran Jayakarta dipentaskan oleh kelompok drama Miss Tjitjih bersama bintang tamu, Fitri Tropica, pada Minggu (30/8).
Keriuhan itu menyiratkan kepuasan penonton atas aksi penuh canda yang baru saja bergulir sepanjang sekitar satu jam. Padahal ini merupakan kali pertama Miss Tjitjih tampil di jantung Ibu Kota. Tepatnya, kawasan Thamrin.
“Oke banget, keren banget!” puji Manda Wijono yang menonton lakon Miss Tjitjih kali ini bersama kawannya, Wikan Satriati. “Harus sering-sering, banyak acara kayak gini, supaya budaya Indonesia juga enggak mati.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya Miss Tjitjih berpentas di gedung pertunjukan sendiri di kawasan Cempaka Putih. Namun hasil pemantauan CNN Indonesia, baru-baru ini, kondisi gedung maupun rusun yang dihuni pemain teater Miss Tjitjih sama-sama memilukan.
Padahal aksi Miss Tjitjih—dengan atau tanpa bintang tamu Fitri Tropica—di GIK, pada akhir pekan kemarin, terbilang memikat. Ada saja polah dan celoteh para pemain yang memicu gelak tawa sepanjang pertunjukan berlangsung.
Melihat kondisi yang begitu kontras—di mana para pemain sangat lucu di atas panggung, tapi kenyataannya hidup mereka amat pilu di keseharian—mau tak mau memang harus dilakukan perubahan manajemen Miss Tjitjih.
Menurut Imas Darsih, sutradara Miss Tjitjih, kelompoknya sudah berbenah menjadi lebih modern ketimbang dahulu. Pernyataannya ini dikutip oleh pegiat teater Ratu Selvi Agnesia dalam artikel
Lutung Rasa Sunda di
blog pribadinya.
“Kami pindah lebih modern karena yang Ibu pikir saingan Miss Tjitjih banyak sekali,
gimana caranya agar penonton tidak meninggalkan Miss Tjitjih. Jadi kami memasukkan yang modern juga, tidak seperti dahulu yang totok dengan aturan,” kata Imas.
Sekalipun upaya modernisasi telah dilakukan, toh Miss Tjitijih tetap megap-megap. Menurut Eneng, pemain dan penghuni rusun Miss Tjitjih, tiket pertunjukan tak pernah ludes terjual, padahal harganya cuma Rp10 ribu per lembar.
Sebetulnya masih ada cara lain: mencari sponsor atau sumber dana lain. Nah, masalahnya pemain maupun manajemen Miss Tjitjih tak tahu caranya. Diakui Eneng, Miss Tjitjih kelewat bergantung kepada uluran dana Pemerintah.
“Sejak dulu, Miss Tjitjih memang mengandalkan dana dari Pemerintah,” kata Selvi yang mengaku lumayan sering menonton aksi kelompok yang sudah eksis sejak 1928 ini. “Bila dana dari Pemerintah telat, ya jadwal pementasannya juga telat.”
Selvi menegaskan, seharusnya Pemerintah tak sekadar melestarikan Miss Tjitjih, melainkan juga mengembangkannya. Misalnya, dengan membuatkan program rutin di stasiun televisi atau acara level nasional maupun internasional.
Menurut pegiat teater asal Negeri Kanguru Barbara Ryan, sebagaiman dikutip laman Press Reader, komunitas teater bisa berkembang asalkan ada pegiat yang bersedia aktif menciptakan kepercayaan, kerja tim, pertemanan, dan kenangan.
Tanpa ada keterlibatan pegiat yang secara sukarela menjadikan komunitas teater sebagai rumahnya—bukan sekadar tempat kerjanya, Barbara sangsi perkembangan yang diharapkan bisa terwujud nyata. Jelas Miss Tjitjih butuh pegiat semacam ini.
Upaya pengembangan teater Miss Tjitjih, dimaknai Selvi, sebagai upaya memelihara tradisi warisan masa lalu dalam kemasan baru. Hal ini serupa juga dinyatakan Fitri Tropica usai berpentas bersama Miss Tjitjih.
Fitri menyayangkan jika eksistensi Miss Tjitjih tak bisa dipertahankan, mengingat kelompok drama ini sudah eksis sejak era kolonial Belanda, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mau tak mau, Miss Tjitjih harus berbenah.
“Miss Tjitjih harus siap terbuka dengan banyak hal baru,” kata si komedian. “Enggak selalu
stick di Sunda aja, tapi harus siap dengan bahasa Indonesia,
even campuran dengan bahasa asing, pokoknya harus semakin mengglobal.”
Dan tak hanya dari sisi Miss Tjitjih saja, Fitri pun menegaskan, kaum muda juga harus mau menonton acara yang mengangkat budaya Indonesia. “Sesekali
nonton acara yang ada unsur tradisi, dijamin kemasannya keren, dan enggak bakal
nyesel.”
(vga/vga)