Jakarta, CNN Indonesia -- Miss Tjitjih rupanya bukan hanya memiliki kisah heboh dari penggemar, tetapi juga punya sisi mengharukan yang dilakukan oleh penonton setia opera berbahasa Sunda ini. Satu yang tidak dimiliki oleh penampil era modern.
Sebelum menetap di kawasan Cempaka Baru, Cempaka Putih, Miss Tjitjih sebelumnya memiliki teater di kawasan Kramat Raya yang kemudian berpindah-pindah ke berbagai tempat hingga menetap cukup lama di kawasan Angke. Namun akhirnya Miss Tjitjih dipindah ke Cempaka Putih karena pembangunan Ibukota.
Di Kramat Raya dan Angke itulah lokasi yang memancing penonton untuk datang melihat pertunjukkan Miss Tjitjih, berpuluh tahun silam. Tetapi rupanya masih ada penonton di masa itu datang kembali hanya untuk melihat Miss Tjitjih di atas panggung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pernah ada penonton dari Bogor, menelpon Eneng untuk memesan tiket nonton Miss Tjitjih, rupanya dia adalah penonton sejak masih di teater Kramat Raya," kata Eneng. Teater Kramat Raya sendiri terakhir beroperasi pada 1937.
Si penonton dari masa lalu tersebut rupanya tidak mengetahui pemindahan Miss Tjitjih dari teater yang ada di Kramat Raya. Ia pun menyesal tidak melihat pertunjukkan terakhir Miss Tjitjih yang ia anggap sudah bubar.
 Salah satu poster pertunjukkan di Miss Tjitjih. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Sekian puluh tahun berlalu, rupanya ketika dirinya, yang sudah berusia senja berada di kawasan Pasar Senen, ia mendengar soal Miss Tjitjih. Merasa menemukan kenangan indah masa lalu yang pernah sirna, sang aki-aki — bahasa Sunda untuk kakek-kakek — ini pun mencari tahu dan menemukan spanduk Miss Tjitjih di Cempaka Putih.
Dirinya pun menghubungi nomor telepon Eneng yang menjadi
contact person dari Miss Tjitjih. Eneng terkejut mengetahui kisah sang kakek yang kemudian kini rutin memesan tiket Miss Tjitjih untuk dirinya, sang istri, sang anak, dan bahkan sang cucu.
"Nah ada lagi dari Sukabumi datang naik motor bersama istrinya, sengaja ingin menonton Miss Tjitjih tetapi kami sedang tidak ada pertunjukan," kata Eneng. "Kakek ini ingin menunjukkan kepada sang istri pertunjukan yang sering ia lihat ketika masih bujangan.”
Kisah kakek dari Sukabumi itu pun membawakan pengalaman romantis kepada Eneng. Eneng menceritakan sang kakek mengendarai motornya berduaan membonceng sang istri dari Sukabumi menembus jalanan macet dan berbukit menuju Jakarta hanya untuk menonton Miss Tjitjih.
Si Kakek ini sering membicarakan Miss Tjitjih kepada istrinya semasa mereka bersama-sama sejak menikah. Sang kakek rupanya ketika bujangan, rajin menonton Miss Tjitjih di teater Angke di era 1960 hingga 1987.
"Si kakek ini cerita sama istrinya dahulu ia nonton Miss Tjitjih sambil makan kacang rebus dan duduk ‘ngemper’ di lantai mirip nonton misbar (gerimis bubar-layar tancap)," Eneng bercerita.
Si kakek pun tak tahu menahu mengenai pemindahan teater Miss Tjitjih dari Angke ke Cempaka Putih lantaran ia menikah dan menetap di Sukabumi. Kisah masa bujangannya rupanya mengusik keingintahuan sang istri untuk menelusuri kebiasaan suaminya semasa lajang.
Setelah tiba di Jakarta, mereka harus menerima kenyataan bahwa Miss Tjitjih yang mereka ketahui dari internet berada di Cempaka Putih, sedang tidak menyelenggarakan pertunjukan lantaran dana hibah dari Pemprov DKI belum cair.
Tanpa ada sanak saudara di Jakarta, mereka akhirnya memutuskan untuk mencari hotel guna beristirahat lantaran kelelahan sudah berkendara sedari pagi dari Sukabumi. Mereka pulang hanya dengan membawa kontak Eneng, yang akhirnya kini mereka dapat memesan tiket dan menonton Miss Tjitjih kembali di usia senja mereka.
"Wah sekarang kalau Miss Tjitjih tampil, suka datang dengan beberapa bus dari Bogor dan kota-kota lain di Jawa Barat,” tutur Eneng.
Ramainya penonton Miss Tjitjih pun diakui membawa keberkahan bagi penduduk sekitar Miss Tjitjih di pemukiman padat Cempaka Baru.
Herwin, pedagang asal Jawa Timur yang berjualan dekat dengan Gedung Miss Tjitjih pun mengakui keberkahan dari pertunjukan tersebut.
"Dahulu ketika 2010 hingga 2013 masih ramai, kalau nonton bus-bus datang dari berbagai daerah, namun dua tahun ini menurun terus, katanya sih uangnya kurang," kata Herwin. "Anak-anak kecil di sini juga suka menonton soalnya tiketnya murah."
Personel Miss Tjitjih memang tak hanya sekedar mencari penghidupan dari pementasan teaternya. Hanya dengan tiket seharga Rp 10 ribu, penonton sudah dapat menikmati cerita rakyat Sunda dengan penampilan yang apik dan kawakan, hitung-hitung melestarikan budaya bangsa sendiri.
(end/utw)