Ubud, CNN Indonesia -- Sejak kecil, Peter van Dongen sudah merasa dirinya berbeda. Anak-anak seusianya di sekolah menjulukinya Bloody Chinese karena matanya sipit. Ia bahkan disebut
F***king Moluccan karena kulitnya lebih cokelat.
Maluku sempat dibenci, karena pada pada 1970-an ada pembajakan kereta di Belanda yang dilakukan seorang keturunan Maluku.
"Saya juga disebut Pinda. Artinya kacang, tapi biasa dipakai untuk menyebut orang Indo. Sebenarnya itu nama yang kasar, karena artinya negatif," cerita Peter kepada CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebutan itu memang menyakitkan. Namun Peter tidak terlalu keberatan. Itu justru membuatnya menyadari dirinya berbeda.
"Meskipun saya tetap orang Belanda. Saya punya teman-teman Belanda, kami punya pendidikan yang seragam, kami bersekolah di tempat yang sama. Saya hanya berbeda," katanya. Lagipula, kulit cokelat kemudian memberinya keuntungan, merasa lebih seksi.
Perbedaan yang disadari Peter itulah yang kemudian mendorongnya saat berusia 23, memikirkan latar belakang keluarganya. Peter sedang mencari ide untuk karyanya berikutnya, setelah menyelesaikan debutnya,
Muizentheater (Teater Tikus) pada 1990.
"Saya lalu teringat cerita tentang Makassar yang disampaikan oleh ibu saya saat saya masih kecil," tuturnya. Peter langsung tertarik mengetahui lebih lanjut soal sejarah keluarganya. Tapi ia tidak bisa menemukan foto masa lalu keluarganya.
Ia hanya punya dua foto di rumahnya di Belanda. Ibunya, yang lahir di Maluku, saat masih kecil dan neneknya yang dari Ternate. "Kami belajar soal pendudukan Jerman, tapi Jepang di Indonesia hanya sedikit. Cuma dua halaman, bahkan kurang," kata Peter lagi.
Padahal di dalam darahnya ada kisah mereka. Kakeknya, yang seorang pejuang kolonial dan dipenjara serta dipenggal oleh Jepang, pun hanya sedikit diceritakan oleh sang nenek. Ibunya saat itu baru berusia empat tahun, dan langsung diajak pindah ke Belanda.
Peter akhirnya memulai riset pada 1991. Ia datang ke perpustakaan, meneliti arsip tentang Indonesia, dan mengunjungi keluarganya di Negeri Khatulistiwa setelah bertahun-tahun menginjakkan kaki di sana.
"Mereka mungkin kecewa. Mereka mengharapkan orang dari Belanda yang pirang, tinggi, dan berkulit putih. Saya ternyata pendek, cokelat, bahkan bermata sipit," katanya.
Pada 1992, dua bulan ia habiskan waktunya di Indonesia. Pria 49 tahun itu mencoba mendalami perasaan tentara yang kembali ke Indonesia untuk perang pada Agresi Militer Belanda I. "Meskipun tentu beda, saya turis dan naik pesawat, mereka naik kapal."
 Peter van Dongen dan komik karyanya. (ANTARA FOTO/Dodo Karundeng) |
Tapi Peter mencoba menyerap sebanyak-banyaknya peninggalan Belanda di Indonesia. Ia mengunjungi museum militer di Yogyakarta, lalu ke Bandung, Museum Fatahillah di Jakarta, dan kota lain untuk mengeskplorasi apa pun terkait Belanda.
Di dalam kepalanya Peter sudah membayangkan, ia ingin bercerita soal anak tentara Belanda yang ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu kembali dengan pembantu yang mengasuhnya sejak kecil.
"Awalnya saya ingin dia kembali untuk mencari kekasihnya. Tapi teman saya bilang, coba ganti kekasih dengan pembantu. Saya pikir itu lebih menarik," tuturnya. Ia tahu itu memang terjadi. Babu, demikian ia menerjemahkan "
maid," penting bagi anak-anak di masa itu karena merawat sejak kecil, menghadirkan "surga" keluarga di tengah masa-masa perang yang kelam.
Di tengah riset, Peter yang mengenyam sekolah seni itu menemukan sebuah fakta penting lain. "Saya awalnya hanya mau cerita cinta. Tapi saya menemukan tradisi rampokan ini," katanya menjelaskan.
Ia pernah mendengar kata rampok dari sang nenek, saat rumah mereka kemasukan maling atau ada barang yang dicuri. Tapi rampokan yang ia temukan di literatur, jauh berbeda.
Rampokan, menurut penelusuran di internet, merupakan tradisi di mana harimau dipaksa bertarung dengan banteng dan dibunuh beramai-ramai di alun-alun. Banyak yang menyebut macan merepresentasikan kolonial Belanda dan banteng adalah bangsa pribumi.
"Saya tahu tentang wayang kulit, batik, nasi goreng di Indonesia, tapi itu hal-hal klise. Saya menemukan tradisi dengan macan ini, dan berpikir itu metafora yang bagus untuk cerita saya, untuk perjuangan memperjuangkan kemerdekaan," kata Peter.
Sekonyong-konyong ia tidak ingin ceritanya hanya soal cinta dan prajurit. "Itu membosankan," ujarnya. Seperti dalam film, ia ingin menambah layer cerita ke-dua. Ia pun menambahkan rampokan macan ke dalamnya.
Buku komiknya,
Rampokan Jawa akhirnya diterbitkan di Belanda pada 1998 setelah penggarapan bertahun-tahun. "Untuk satu halaman saya bisa butuh seminggu penuh."
Buku ke-dua,
Rampokan Selebes diterbitkan pada 2001. Keduanya akhirnya dijadikan satu menjadi
Rampokan Jawa & Selebes yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Peter menemukan hal lucu saat merilis komik di Belanda dan Indonesia. Di Belanda, katanya, penggemarnya kebanyakan generasi tua. Sedang di Indonesia, anak-anak muda pun suka komik meski ceritanya soal sejarah. "Di sana kebanyakan usia 40-an, tapi di sini usia 25-an pun suka," katanya.
Saya tahu tentang wayang kulit, batik, nasi goreng di Indonesia, tapi itu hal-hal klise.Peter van Dongen |
Goresan Peter dalam karyanya bisa dibilang mirip Tintin, karena ia memang terinspirasi dari sana. Namun gambar Peter lebih kelam. Ia memainkan warna cokelat dan hitam.
Soal itu, Peter membuka rahasia uniknya pada CNN Indonesia. Awalnya, kata Peter, cokelat dan hitam yang mendominasi komiknya hanya perkara duit. "Awalnya, penerbit saya di Belanda hanya penerbit kecil," ujarnya.
Mereka tidak punya banyak uang untuk menerbitkan komik berwarna. Kebetulan, ada mesin cetak yang bisa menerbitkan dua warna sekaligus, sehingga lebih hemat. "Saya pilih cokelat, karena itu merepresentasikan tema sephia seperti masa lalu," kata Peter.
"Sebenarnya saya bisa pilih warnai hijau, lebih merepresentasikan keindahan Indonesia. Tapi ini lebih ke kode. Cokelat mengingatkan pada sephia," lanjutnya.
Kelamaan, warna cokelat dan hitam seperti menjadi identitasnya. "Sekarang rasanya ini lebih bagus dari komik penuh warna seperti Tintin. Menerbitkannya juga lebih sederhana," ujar pria yang suka menggambar detail masa lalu itu, sambil tersenyum.
Peter kini masih tinggal di Amsterdam, tetapi sesekali mengunjungi Indonesia. Hubungan darahnya tak bisa diputus begitu saja. Namun ia belum menentukan apakah komik berikutnya masih soal Indonesia.
"Saya belum terikat pekerjaan apa pun sekarang. Tapi saya lebih suka menggambar mobil zaman dulu saja ya, lebih sederhana," ujarnya menutup pembicaraan dengan tawa.
(rsa/vga)