Jakarta, CNN Indonesia -- "Kekuatan terbesar perfilman Indonesia adalah ide," demikian Felencia Hutabarat, konsultan ekonomi kreatif untuk British Council kepada CNN Indonesia di Jakarta, pada Selasa (15/12).
Diakuinya, sineas muda Indonesia punya ide yang banyak dan menarik. Sayang, terkadang mereka tak tahu cara menembus pasar dunia.
Elen, sapaan akrab Felencia, menuturkan, kebanyakan sineas baru belajar secara autodidak. Mereka pun punya pendekatan dan pengetahuan yang berbeda dengan sineas yang belajar formal dari sekolah perfilman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu permasalahan yang selama ini mencuat adalah soal penulisan skenario. Produksi meningkat, tapi penulisan skenario masih jadi tantangan," katanya.
Itu bisa jadi terkait dan menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa film Indonesia makin membeludak tetapi penontonnya di bioskop turun.
Atas kegelisahan itu, British Council yang menandatangani kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk memajukan industri kreatif, menggelar program Script Room. Direktur Seni dan Industri Kreatif British Council Adam Pushkin mengatakan, program itu sebenarnya merupakan kelanjutan sejak 2013.
Tahun lalu, program itu bernama Microschool. Ia menjaring belasan skenario film panjang dari seluruh Indonesia yang sudah siap sebagai tim produksi, yakni terdiri dari produser, sutradara, dan penulis skenario. Mereka diberi pelatihan oleh insan perfilman profesional yang didatangkan langsung dari Inggris.
"Film yang bagus bukan hanya dari kualitasnya tetapi juga koneksi. Kami menghadirkan profesional dan memberikan kesempatan film bisa disalurkan secara internasional," kata Adam. Tak hanya soal skenario dan teknis lain, pelamar terpilih juga diantarkan ke gerbang pasar asing.
Salah satu film yang terpilih berjudul
Night Bus. Diproduseri Darius Sinathrya, film itu sampai ke Micro Market di London. Pada Oktober lalu,
Night Bus termasuk satu dari puluhan film yang ikut
pitching forum di hadapan para distributor, penjual, bahkan investor perfilman Eropa, terutama Inggris. Ini kali pertama Indonesia masuk ke dalam forum tersebut.
"Kami dapat
project development juga. Proyek ini sudah tiga bulan, tapi baru enam bulan setelah Microschool akhirnya dapat biaya yang dibutuhkan untuk produksi dan bisa
start syuting," kata Darius bercerita. Sekarang filmnya dalam tahap pascaproduksi dan akan tayang di Indonesia sekitar Oktober 2016.
Tahun ini, kelas British Council menembak langsung persoalan mendasar perfilman Indonesia: skenario. Mereka memanggil skenario film panjang dari sineas muda Indonesia untuk dimentori langsung oleh penulis naskah profesional dari Script Cube yang merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan menulis naskah di Inggris.
Sebanyak 10 naskah terpilih akan diajarkan menjamin kualitas skenario penunjang filmnya sehingga dapat memberi dampak positif pada pengembangan cerita. Tiga proyek film terpilih akan ditindaklanjuti. Mereka mendapat
mentoring eksklusif dan konsultasi lanjutan. Mereka juga diantarkan ke London.
Indonesia termasuk lima lokasi di dunia yang mendapat keistimewaan itu, bersama India, Georgia, dan Inggris. Dari pengalaman tahun lalu, tim pengirim naskah masih terpusat di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. British Council berharap, tahun ini ada lebih banyak ide menarik dan naskah yang masuk, apalagi dengan dorongan pengalaman
Night Bus.Elen mengatakan, pihaknya sengaja memilih film panjang karena memang ingin mendukung industri kreatif Indonesia agar lebih mendunia. Pasar film panjang tak bisa dipungkiri masih lebih besar ketimbang film pendek.
Adam melanjutkan, ia juga percaya film merupakan cara termudah dan terefektif mengoneksikan orang-orang dari seluruh dunia. "Film lebih mudah dimengerti. Film memungkinkan orang dari negara yang berbeda tahu dan mengalami yang terjadi di negara lain," katanya.
Jika film Indonesia mendunia, ia yakin bukan hanya sineas yang mendapat untung. "Ketika sebuah cerita bisa sampai ke banyak orang, keuntungannya juga bagi Indonesia, bagi Inggris sekalipun," ujar Adam.
(rsa/vga)