Jakarta, CNN Indonesia -- Usia karier Darius Sinathrya di industri hiburan Indonesia sudah mencapai sepuluh tahun. Namun selama ini, ia hanya datang ke lokasi syuting dan berakting sesuai arahan sutradara. Ada hal yang berbeda yang dirasakan suami Donna Agnesia itu saat terlibat dalam film
Night Bus.Dalam film yang disutradarai Emil Heradi itu, Darius tidak tersebut dalam daftar pemain. Namanya justru muncul sebagai produser film.
"Pemain dipercaya sebagai aktor untuk berakting di dalam cerita yang sudah ada. Produser terlibat semua proses kreatif dari awal," katanya saat ditanya perbedaan menjadi pemain dan produser, di Jakarta, pada Selasa (15/12). Ia harus datang ke lokasi dengan kepala penuh, tahu apa saja yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia terlibat dalam pengembangan naskah, detail pengambilan gambar, pencarian investor, meyakinkan penyandang dana, sampai menyusun jadwal film.
"Saya terlibat di semua pekerjaan teknis yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan kerja tim yang bagus. Mulai produksi sampai distribusi. Itu panjang," kata Darius.
Padahal aktor yang juga bintang iklan itu sebenarnya tidak terlibat dalam
Night Bus sejak awal. Ia bercerita,
Night Bus merupakan film yang idenya sudah mengendap sekitar tiga tahun. Ia sendiri baru aktif mendukungnya setahun terakhir. Itu pun karena tak disengaja. Niatnya sekadar membantu teman.
Darius dan Emil sudah saling mengenal sejak sama-sama terlibat dalam film
Merah Putih, pada 2009. "Di situ, kami bertemu Teuku Rifnu Wikana," katanya. Dari Rifnu lah ide
Night Bus bermula. Awalnya, ia membuat sebuah monolog untuk pementasan. Ceritanya tentang daerah konflik dan perempuan yang tertindas.
"Pada 2011, dia bikin ide itu jadi cerita pendek, dan 2012 jadi naskah film," Darius melanjutkan. Sampai tahun ini, skenario yang sudah jadi itu masih belum jelas nasibnya. Darius dan Emil mencoba mendiskusikannya dengan banyak pihak, termasuk para sineas yang sudah berpengalaman, tetapi selalu mendapat tanggapan negatif.
"Karena ada unsur politik dan cerita perjalanan, kebanyakan syutingnya pun [dilakukan] malam," tutur Emil menjelaskan.
Night Bus sendiri bercerita tentang sekelompok orang tak saling kenal yang melakukan perjalanan dari satu titik menuju titik lain dengan bus malam. Perjalanan itu seharusnya aman meski di daerah konflik. Namun malam itu, mereka mendapat teror.
Darius dan tim akhirnya memutuskan mengikutsertakan naskah itu ke Microschool, program perfilman British Council yang mendatangkan mentor profesional dari Inggris.
Di sanalah, Darius pertama kali mendapat tanggapan positif. "Mereka mengapresiasi. Katanya, idenya bagus dan orisinal," ujarnya.
Mereka lantas mendapat banyak arahan, bukan hanya soal pembangunan karakter dan skenario tetapi juga pembuatan proposal untuk investor sampai presentasi kepada pengucur dana.
Darius pun yakin, dalam beberapa bulan ia akan dapat uang untuk produksi. Apalagi filmnya terpilih sebagai empat besar dari belasan pelamar yang masuk. Ia mendapat bimbingan intensif. Sekitar September, impiannya pun menjadi nyata. Pada Oktober, setelah syuting rampung, ia dipanggil ke London.
"Di sana, ketemu 13 perusahaan lokal dan internasional. Kami presentasi dan menjadi satu-satunya perwakilan Asia serta pertama dari Indonesia," tuturnya bangga.
Dari situ ia memang belum mendapat hasil nyata, namun pintu untuk filmnya yang dahulu dianggap "kuda hitam" telah terbuka. Ia jadi optimistis ke kancah internasional.
Kini,
Night Bus yang dibintangi Rifnu, Lukman Sardi, dan Donny Alamsyah itu memasuki masa pascaproduksi, setelah syuting di Jakarta, Banjar, Tasik, Pangandaran, dan Cibubur. Pascaproduksi membutuhkan masa yang panjang, kata Darius, karena filmnya bakal dipenuhi efek visual. Ia berharap
Night Bus tayang pada Oktober.
"Kami juga mengincar salah satu festival internasional. Ya, dengan ini saya banyak belajar hal baru. Menambah pengalaman. Mudah-mudahan ini bukan yang pertama dan terakhir," ucap Darius sambil senyum.
(rsa/vga)