Jakarta, CNN Indonesia -- Berpulangnya pematung Edhi Soenarso, pada Senin (4/1), mengingatkan kita pada sejumlah karyanya yang dibangun pada masa pemerintahan Soekarno atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno.
Dari bermacam kabar besar dan kedekatan dengan Bung Karno, terselip nama Edhi di rubrik seni media massa pada eranya. Sekadar pengingat, seniman satu ini pernah sangat diperhitungkan walau arus politik berubah.
Dua artikel itu adalah
Kesibukan tanpa Suara yang ditulis Dan Suwaryono di Majalah Basis, November 1961 dan
Seni Patung Kontemporer 1973-1998 oleh Asikin Hasan dalam Katalogus Triennal Jakarta II 1998. Keduanya terangkum dalam buku
Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai (2012) yang disunting Bambang Bujono dan Wicaksono Adi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edhi Soenarso menggarap medium konvensional di bidang pematungan bersama para pematung Sulistio, Sutopo, Hendra, dan Yan Mangkit dalam pembangunan Hotel Indonesia.
Sejak April 1961, sudah diumumkan bahwa proyek Hotel Indonesia, yang merupakan prestise nasional, akan menggunakan unsur kesenian yang meliputi hampir semua cabangnya.
Seni lukis dikerjakan Sudarso, Gambir Anom, dan Lee Man Fong. Harijadi menggunakan seni relief sebagai medium ekspresi keseniannya, Surono menggunakan medium relief keramik, dan Gregorius Sidharta memperkaya khazanah kesenian dalam bentuk mosaik keramik.
Kesemua penyelenggaraan dan penyelesaian pola hias Hotel Indonesia di bawah supervisi Bung Karno, baik secara teknis estetis maupun teknis oganisatoris.
Bank Pembangunan, yang membuat kalkulasi biaya, memperhitungkan pembangunan hotel akan menelan biaya Rp11 juta, termasuk di dalamnya karya seniman kurang lebih Rp2 juta termasuk ongkos bahan baku.
Watak seluruh karya seni ini adalah “
indoors architecture” ruang pusat bangunan hotel. Selain sebagai
reception hall, ruang pusat juga digunakan sebagai ruang untuk tari-tarian dan ruang dansa. Hotel Indonesia diresmikan Presiden Sukarno pada 5 Agustus 1962.
Penguasa berganti. Edhi terus berkarya. Pada 1973, dia mengikuti Pameran Pertama
Patung Kontemporer Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta yang dianggap sebagai embrio seni patung kontemporer.
Pameran besar berskala nasional ini dimaksudkan membangun tradisi pameran patung nasional. Ada 20 pematung ternama yang terlibat, di antaranya But Muchtar, Gregorius Sidharta, Hadi Asmoro, dan Edhi Soenarso.
Para seniman patung ini berasal dari Yogyakarta dan Bandung, dua kubu yang memiliki kekhasan dan sama-sama punya pengaruh terhadap perkembangan seni patung masa kini.
Sejak awal pertumbuhannya, banyak pematung mula-mula lebih dikenal sebagai pembangun monumen serta pembuat relief dan elemen estetika, seperti Edhi Soenarso, G. Sidharta, dan Rita Widagdo. Karenanya membuat patung berdasarkan order sebenarnya bagian dari perkembangan seni patung Indonesia.
Pada 1998, karya Edhi masuk dalam Triennal Jakarta II dan Asikin Hasan menuliskan katalog acara tersebut bertajuk Seni Patung Kontemporer 1973-1998.
Triennal Jakarta II-1998 seolah-olah membenarkan perkiraan G. Sidharta bahwa seni patung kontemporer di Indonesia pada dasarnya ditandai dengan pembauran seni patung tradisional dan seni patung modern.
Corak dan medium baru tersebut tampak dari berbaurnya pengaruh seni patung tradisional dan seni patung modern. Dilihat dari sudut pandang seni rupa kontemporer, multiplikasi corak bisa terjadi karena berakhirnya dominasi konsep seni rupa modern yang cenderung melihat perkembangan gaya melalui alur perkembangan linier.
Trienal Jakarta II-1998 memperlihatkan pula kecenderungan figuratif yang berkembang sejak awal perkembangan seni patung Indonesia, dan masih muncul pada perkembangan masa kini. Di sini, manusialah sumber inspirasi yang dominan.
Kecenderungan figuratif bermula pada Affandi dan Edhi Soenarso yang membuat patung sosok dengan tanah liat. Patung
Potret Diri karya Affandi, misalnya, yang merupakan ungkapan emosional yang meledak-ledak ketimbang sekadar mengerjakan patung. Pendekatan emosional yang dipakainya dalam melukis, berlanjut pada patung tanah liat itu.
Pada era 1940-an, Affandi dan Edhi Soenarso memamerkan patung-patung karya mereka di Jakarta dan Yogyakarta. Pada 1952, Hendra Gunawan mengembangkan patung sosok dengan material batu andesit ketika mendapat pesanan membuat patung Jenderal Soedirman.
Persentuhan patung pesanan dan patung sosok menghasilkan patung-patung sosok yang bersemangat, seperti tercermin pada karya-karya Edhi Soenarso yang dibuat berdasarkan pesanan. Pematung generasi pertama lulusan ASRI ini melahirkan patung
Pembebasan Irian Barat (1963),
Selamat Datang (1962), dan
Dirgantara (1965) yang terus dikagumi hingga Edhi tutup usia, hampir enam dekade sesudahnya.
(vga)