Jakarta, CNN Indonesia -- Beruntunglah pencinta film yang sempat menonton
Aach... Aku Jatuh Cinta di bioskop, beberapa pekan lalu. Film ini sekaligus menandai 30 tahun kiprah sang sutradara, Garin Nugroho, di ranah film nasional.
Garin telah berkecimpung di dunia film sejak 1984, bahkan pernah terpilih sebagai salah satu dari enam sutradara inovatif dunia dalam acara 250 tahun Mozart. Ia juga menjadi kritikus film dan pembuat film dokumenter.
Film berjudul
Surat Untuk Bidadari (1992) lah yang pertama kali membuat namanya membumbung ke level internasional. Hal itu pun diikuti dengan sederet penghargaan lain di dunia perfilman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebetulnya ini [Aach... Aku Jatuh Cinta] kan merayakan juga 30 tahun saya berkarya dan tahun ini memang merayakannya dengan banyak cara. Salah satunya adalah merayakan dengan mengajak pemain-pemain yang populer, tapi pemain bagus seperti Pevita [Pearce] dan Chicco [Jerikho] dan sengaja memang menggunakan tema yang paling mendasar dalam sejarah sinema, yaitu tema cinta,” katanya saat bertemu awak media massa di kawasan Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Aach... Aku Jatuh Cinta sendiri mengusung tema retro dan membawa para pemainnya ke tiga era berbeda. Garin pun memiliki alasannya sendiri untuk memilih tema cinta dengan keretroannya.
“Karena memang era ini era retro. Jadi mau nonton
The Man From U.N.C.L.E (2015), bahkan filmnya DiCaprio yang menang di Golden Globes itu retro-retro novel tahun 50, tentang petualangan di alam dan sebagainya. Jadi, pada puncak-puncak teknologi, puncak konsumerisme itu orang akan selalu meretro ke belakang kembali,” tuturnya semangat.
Perjalanan karier nan panjang, diakui pria 54 tahun ini, telah membuat mozaik film besutannya menjadi lengkap, khususnya dalam urusan waktu. Sebelumnya, ia merilis film
Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2014) dengan latar belakang awal abad ke-19.
Kemudian, ada film
Soegija tentang seorang uskup bernama Soegija Pranoto (2012) yang berlatar zaman politik kemerdekaan tahun 1945-1949. Setelah itu, untuk latar tahun 1965 ada film
Puisi Tak Terkuburkan (2000) yang bercerita tentang G30S di Aceh. Dan yang teranyar adalah
Aach... Aku Jatuh Cinta yang berlatar era '70, '80, dan '90-an.
“Kemudian ada film
Cinta Sepotong Roti itu era '90, kemudian ada lagi tahun-tahun 2000-an itu film-film saya selanjutnya sampai pada film radikalisme agama,
Mata Tertutup, lalu ada film membikin generasi pop '80-'90
Slank [Generasi Biru]. Jadi sebetulnya, saya tahun ini, 30 tahun ini adalah melengkapi seluruh sejarah film Indonesia. Jadi kalau ada orang tanya 'Mau lihat film siapa untuk tahu Indonesia? Tonton film Garin Nugroho,” ucap Garin mengabsen filmnya.
Seolah tak pernah puas dengan kesuksesannya dalam berkarya, September mendatang ia menjadwalkan dirinya untuk membuat film hitam-putih. Pria kelahiran Yogyakarta ini selalu ingin membuat dirinya jatuh cinta lagi dan lagi pada dunia yang sudah digelutinya selama 30 tahun, karena menurutnya merupakan kerugian bila tidak begitu.
Selain itu, dia juga sedang menyiapkan film lain bertema drama komedi yang kiranya dapat dinikmati pada awal Agustus nanti.
Berbagi Jurus pada Sineas Muda
Pengalaman Garin yang sudah merasakan manis dan pahitnya dunia perfilman membuatnya ingin berbagi jurus pada para anak muda yang ingin membuat film. Karena tak dipungkiri pembuatan film, khususnya film pendek sedang menjadi hal yang digandrungi anak muda saat ini.
“Ini kan era me-
reference ya. Anda bisa me-
reference apa saja, film apa pun. Sutradara memiliki jurus-jurus andalan seperti di silat. Atau bahkan seperti puisi,
chord filmnya sudah jelas A-B-A-B sudah ketahuan,” tutur Garin.
Menurutnya, para pembuat film baru bisa menikmati film dengan dua cara, perasaan dan analisa. Keduanya pun harus berjalan bersamaan. Karena menurutnya kalau hanya mengandalkan perasaan dan tanpa analisa, mereka tidak akan mengetahui jurusnya. Tapi kalau hanya analisa saja dan tanpa perasaan, mereka tidak akan mengetahui dramanya.
“Nanti akan ketahuan
reference suatu sutradara, misalnya pola kameranya selalu begini, begini, begini. Itu jurus satu. Lalu jurus dua, ambil saja jurus itu [diterapkan dalam pembuatan film]. Setelah itu pikirkan cerita apa yang dimiliki dan jurus mana yang cocok, bisa pula digabung atau ditiru jurus-jurusnya,” jelasnya.
Garin menganggap meniru adalah hal yang baik. Seseorang yang sedang belajar harus menunjukkan dirinya dan jangan tertutup dengan gengsi. Karena, menurut Garin, saat ini kebanyakan orang memiliki gengsi yang lebih tinggi dari keinginan pengetahuannya.
“Jadi meniru saja, nanti Anda akan mengalami jurus orang lain. Jadi itu ya untuk anak-anak muda, nanti lama-lama akan terbentuk jurus untuk dirinya sendiri,” tuturnya.
Berkaitan dengan itu, Chicco yang juga hadir dalam kesempatan diskusi film turut memberi tips pada para pegiat film muda. Namun tentu saja ia yang juga pernah berperan dalam film
low budget lebih berbagi untuk para pemeran film.
“Yang penting jangan malas untuk mengumpulkan data. Kalau bisa kita aktingnya harus ikhlas dan tulus. Kita juga harus bikin
story tentang karakter yang akan kita mainkan. Itu yang pertama dan harus banyak-banyak referensi sih,” jelasnya berbagi pengalaman.
Selain itu, pemeran suatu film harus pandai-pandai melakukan observasi, misalnya saat mengobrol dengan orang lain. Nantinya, hasil observasi tersebut bisa dijadikan data dan saat akan memainkan suatu peran, data tersebut bisa dikombinasikan.
“Selain itu, jangan pernah menghafalkan skenario. Karena skenario suatu saat bisa tiba-tiba berganti seperti pengalaman saya di film mas Garin yang suka tiba-tiba ganti
scene,” kata Chicco mengingat pembuatan film terakhirnya.
Di samping itu, Chicco sendiri akan kembali bermain di film Indonesia bertajuk
Kartini pada April mendatang. Di film tersebut, ia akan berperan sebagai pengantar surat yang menurut Garin akan asyik untuk ditonton.
Diam-diam Menyusup ke Dalam BioskopSelaku sutradara senior Tanah Air, Garin memiliki kisah lucu sebelum ia menggarap film pertamanya,
Cinta dalam Sepotong Roti (1990), yang membuat namanya terkenal luas di masyarakat Indonesia.
Pada awal tahun 1970-an, Garin yang masih berumur belasan tahun, sudah menunjukkan minatnya terhadap dunia perfilman. Kala itu, ia hampir setiap hari pergi ke bioskop untuk sekadar main atau menonton film bersama teman-temannya.
Bioskop favoritnya itu bernama Bioskop Permata. Garin yang masih kecil ternyata sangat menggemari film-film laga dan
action barat. Namun, saat itu, anak sekecil Garin belum dapat menonton film-film yang dikategorikan untuk orang dewasa, maka dari itu, ia memiliki cara unik dan bandelnya sendiri untuk mengakali hal tersebut.
"Hasrat saya menonton film sudah tinggi, dahulu kala, film itu sudah menjadi anak emas dari industri visual Indonesia. Itu pada awal 1970-an," ujar Garin kepada awak media pers, di kawasan Thamrin, beberapa waktu lalu.
Di masa kecilnya, keinginan Garin untuk menonton film tidak pernah redup. Ia mengaku bisa dua kali menonton film di bioskop dalam kurun waktu satu minggu.
"Saya kerjaannya
nonton di bioskop terus, setiap minggu bisa dua kali. Rumah saya memang dekat dari bioskop, tinggal jalan kaki tiga menit saja sudah sampai," tuturnya.
"Biasanya saya nonton film-film laga kung fu, drama, dulu belum ada film-film seni gitu," lanjutnya.
Namun Garin tidak melulu memiliki uang untuk menonton film di bioskop. Maka dari itu, ia pun berubah menjadi anak yang bandel demi memuaskan hasrat menonton filmnya itu.
"Kalau saya enggak punya duit, jadi saya cuma menonton
ending-nya saja, diam-diam masuk lewat jendela," jelasnya.
"Saya juga dulu nonton film laga yang nggak boleh ditonton sama anak kecil, jadi saya menyogok penjaga bioskopnya biar bisa masuk ke dalam teater."
Saat itu, Bioskop Permata memiliki kebijakan untuk memberikan tiket gratis kepada orang tua yang membawa anak mereka. Karenanya, Garin berpura-pura menjadi anak orang dewasa yang masuk ke dalam bioskop itu agar mendapatkan tiket gratis.
"Dulu, kalau
nonton bareng orang tua itu dapat tiket gratis. Jadi saya suka
nyari orang dewasa dan minta mereka mengakui saya jadi anak mereka, biar dapat tiket gratis. Hahaha," ucapnya sambil tertawa.
"Setiap minggunya saya ganti orang tua melulu deh untuk dapat tiket gratis."
Di mata sineas Tanah Air, sosok Garin dalam industri perfilman sudah tidka diragukan lagi. Anak perempuannya, Kamila Andini, pun juga mengikuti jejak sang ayah menjadi sutradara.
Garin memiliki gayanya tersendiri jika menggarap sebuah film. Ia hampir selalu memasukkan unsur politik ke dalam film-filmnya, untuk membahas tentang isu yang sedang terjadi di dalam masyarakat.
(vga/vga)