Jakarta, CNN Indonesia -- Dicabutnya status Daftar Negatif Investasi (DNI) bagi beberapa usaha dalam negeri termasuk industri perfilman, ternyata juga menjadi kabar besar secara internasional. Wacana Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sejak beberapa bulan lalu itu bahkan muncul dalam pemberitaan di situs web hiburan Variety
.Indonesia to Abolish Foreign Investment Restriction on Film Business, demikian Kepala Biro Asia Variety Patrick Frater memberi judul. Pemberitaan itu diawali dari pengumuman resmi Presiden RI Joko Widodo tentang penghapusan sebagian atau seluruh industri yang selama ini tertutup asing, dari DNI.
Variety lantas mengutip pernyataan Menteri Perdagangan Tom Lembong yang mengatakan pada Reuters, "Ini keterbukaan terbesar kami terhadap investasi internasional 10 tahun belakangan. Lebih banyak investasi berarti lebih banyak modal, tenaga ahli berkelas dunia, dan teknologi untuk Indonesia."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diterangkan Variety, selama ini Indonesia memang "tertutup" bagi Hollywood dan perusahaan-perusahaan film asing dunia. Mereka tidak bisa menanamkan cabang distribusi di Indonesia karena dilarang oleh aturan pemerintah. Mereka juga kesulitan beraktivitas produksi film.
Menurut Variety, larangan pemerintah itulah yang selama ini membuat industri film Indonesia gagal menyamai populasi maupun potensi ekonomi dalam negerinya. "Negara selama ini kekurangan distributor film independen. Produser lokal biasanya menggandakan dan mendistribusikan sendiri filmnya," demikian isi berita Variety.
Itu menjadikan biaya perfilman dan risikonya meningkat. Volume produksi lokal pun akhirnya terbatasi, karena biayanya menjadi sangat tinggi.
Variety juga melihat dicabutnya DNI jadi kesempatan bagi investasi asing di bidang bioskop. Layar bisa jadi lebih banyak. "Dibanding populasinya yang mencapai 256 juta, Indonesia mungkin hanya punya seribu layar bioskop komersial yang beroperasi."
Diberitakan pula bahwa selama ini eksibisi di industri perfilman Indonesia dikuasai jaringan bioskop XXI. Mereka juga berlaku sebagai distributor lokal bagi enam studio besar di Hollywood. Baru belakangan ada pesaing, Blitz juga Cinemaxx, meski jumlah layarnya masing-masing belum sampai 100.
Blitz sendiri sudah mendapat sokongan dana dari jaringan bioskop Korea Selatan, CJ-CGV sejak 2014. Pada awal bulan ini, perusahaan induk CGV Blitz, Graha Layar Prima meluncurkan masalah hak cipta sebesar US$62 juta atau Rp836 miliar, untuk membayar utang-utang dan membiayai pembangunan bioskop.
Bukan hanya Variety satu-satunya media yang membahas pencabutan DNI di Indonesia. Namun, kebanyakan media lain hanya mengulas masalah investasi asing yang mungkin akan masuk, sementara Variety mengkhususkan soal perfilman.
(rsa/vga)