Dilema Perkembangan Musik Era Digital: Kualitas vs Viral

Vega Probo | CNN Indonesia
Kamis, 10 Mar 2016 08:14 WIB
Tak jarang karya musik “abal-abal” yang beredar online malah menjadi viral. Padahal dari segi kualitas, kalah dibanding artis profesional.
Foto: Roger Kisby/Getty Images for CMJ
Jakarta, CNN Indonesia -- Perkembangan musik era digital terutama di Indonesia, belakangan ini, membawa perubahan besar. Salah satunya, beberapa toko musik fisik yang menjual CD bertumbangan. Sebut saja, Aquarius, Duta Suara, Disc Tarra.

Di sisi lain, toko musik online bermunculan dan akses internet semakin terbuka. Sehingga memungkinkan banyak orang untuk memamerkan karya tanpa perlu repot-repot memproduksi dan mendistribusikan CD.

Tak jarang karya musik “abal-abal” yang beredar di ranah online malah menyita perhatian publik dan menjadi viral. Padahal dari segi kualitas, kalah dibanding artis profesional yang didukung manajamen dan label rekaman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beredarnya karya musik “abal-abal” secara viral dikhawatirkan kalangan tertentu bakal menyetir selera masyarakat ke arah yang buruk. Sehingga tak lagi mempan bila dijejali karya musik “mumpuni” yang indah.

Menyoal hal ini, Seno M. Hardjo, A&R sekaligus produser eksekutif label rekaman Target, justru menanggapinya dengan santai. Kepada CNN Indonesia.com, ia menyatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Musisi yang mencari sensasi lewat lirik destruktif tidak akan berkembang. Dia hanya disukai oleh lingkungan atau komunitas sekitar dia saja. Kelak dia juga akan menghadapi hukum rimba,” kata Seno, lugas.

Seno mencontohkan lagu Lupa-lupa Ingat yang dipopulerkan grup band Kuburan. Lagu tersebut sempat heboh, namun kemudian nama Kuburan bagai tenggelam. “Heboh, tapi tak berlanjut. Itu faktor alamiah yang menyortir mereka.”

Seno meyakini, lagu tak berkualitas yang dibuat semata untuk mencari sensasi tak akan bertahan lama. “Kalau penulisan lagunya jelek, [si artis] pasti mental,” katanya. Berbeda halnya bila si artis mumpuni dalam penulisan lagu.

Lalu, Seno menyebutkan nama grup band Sheila on 7, Dewa, Padi yang menurutnya memiliki kekuatan dalam penulisan lagu. Sehingga walaupun belakangan ini jarang tampil, lagu-lagu mereka terus dikenang dan diputar.

Namun sekali lagi, selera pasar memang tidak bisa diawasi sedemikian rupa. Demikian disampaikan Arie Legowo, A&R Warner Music. Menurutnya, penduduk Indonesia yang berjumlah ratusan juta jiwa memiliki selera sendiri.

Ada kalanya label rekaman mayor seperti Warner Music tertarik memproduksi album musik artis yang sedang naik daun, sekalipun mungkin dari segi kualitas karyanya tak terlalu mumpuni. Salah satunya, Kangen Band.

Jauh sebelum dikontrak oleh Warner Music, menurut Arie, grup band asal Lampung ini sudah lebih dulu beken, karena lagu-lagunya yang dibajak dan diedarkan secara ilegal ternyata disukai sebagian orang.

Terlepas dari soal musikalitas, Kangen Band punya potensi menjadi “tambang emas.” Karena itu, Warner Music mengontraknya. Namun Arie menyatakan pihak label rekaman tak memoles si artis secara berlebihan.

Polesan tentu saja dibutuhkan agar kualitas musikalitas dan penampilan si artis menjadi lebih baik. Namun menurut Arie, polesan tidak bisa diaplikasikan begitu saja, hanya sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan.

Bila kini nasib Kangen Band tak menentu, dikatakan Arie, karena personelnya telah berubah, tidak seperti dulu lagi. Urusan artis dengan label rekaman bukan semata membikin album musik. Lebih dari itu: menjaga eksistensi.

“Si artis harus punya semangat eksis dan strategi karier, juga didukung manajemen dan label rekaman yang kuat,” kata Seno. Dengan begitu, keabadian kualitas musikalnya terjaga, dan tak mudah digeser oleh artis “abal-abal.”

(vga/vga)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER