Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak negara memiliki lembaga sensor film masing-masing. Hal ini menunjukkan keberadaannya memang dibutuhkan untuk menjalankan tugas sebagai "sang penjaga."
Bukan sekadar bertugas menggunting adegan yang dianggap tak pantas, melainkan juga menjaga masyarakat dari pengaruh buruk yang kemungkinan ditimbulkan oleh film.
Namun ternyata tak semua orang, terutama insan sinema, bisa menerima begitu saja pengguntingan adegan. Apalagi jika lembaga terkait asal-asalan dalam melakukan penyensoran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Joko Anwar, salah satunya. Sutradara film
A Copy of My Mind, Modus Anomali, dan
Janji Joni, ini menilai keberadaan sensor film dapat membatasi kreativitas sineas dan para pelaku film.
"Keberadaan sensor dalam suatu negara bukan lagi cuma masalah pengekangan kreativitas," tutur Joko ketika dihubungi CNN Indonesia.com melalui layanan pesan singkat, pada Rabu (16/3).
"Tapi yang lebih penting," pria kelahiran Medan, Sumatra Utara, 40 tahun lalu ini menambahkan, "[sensor film juga] menghambat kematangan masyarakat untuk menghadapi era informasi."
Menurutnya, adanya sensor film bisa "membutakan" masyarakat terkait isu-isu yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat dunia, apalagi jika isu itu diangkat melalui audio dan visual.
"Saat ini dan ke depan, informasi tentang dan dalam bentuk apa pun, termasuk audio visual, tak akan dapat dibendung aksesnya," kata peraih Piala Citra di Festival Film Indonesia 2015.
"Masyarakat membutuhkan kemampuan untuk bisa menyaring [konten] yang bisa mereka terima," lanjutnya.
Menurutnya, masyarakat, terutama orang tua, harus memiliki kemampuan untuk mengawasi serta menjauhkan anak-anak di bawah umur dari film atau konten yang tak sesuai dengan umur mereka.
Artinya, keberadaan sensor bisa jadi malah menumpulkan kemampuan orang tua untuk memilah-milih konten mana yang seharusnya dijauhi oleh anak-anaknya.
Joko menuturkan, lembaga
rating yang bertanggung jawab penuh atas klasifikasi penggolongan SU (Semua Umur), R (Remaja), dan D (Dewasa) dianggap lebih penting dibandingkan lembaga pengawas film lainnya.
"Kalau kontrol [sensor film] dipegang oleh negara, masyarakat tidak akan pernah menjadi masyarakat madani. Ini sangat berbahaya karena negara tidak akan sanggup menyaring semua informasi."
Tak hanya itu, Joko menganggap bahwa semakin lama, sensor film di Indonesia semakin diperketat. Hal itu disebut dapat mengerdilkan kreativitas pelaku seni, pun masyarakat.
(fad/vga)