Sensor Indonesia Sejatinya Berkiblat pada Amerika

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Jumat, 18 Mar 2016 10:19 WIB
Lembaga sensor di Indonesia pertama kali didirikan tujuh tahun setelah lembaga sensor Amerika berdiri.
Ilustrasi film. (Comstock Images/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Negara Barat sekali pun, tetap menerapkan sensor untuk menyajikan "hidangan" kreatif terbaik bagi para penikmatnya. Sensor yang dikenal di Indonesia saat ini dan mulai banyak diprotes, ternyata merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda.

Usia sensor di Indonesia sudah 100 tahun. Belanda pula lah yang menularkan kebiasaan menonton pada masyarakat Indonesia, meskipun pribumi saat itu dilarang ikut menyaksikan film karena dianggap dapat menimbulkan kecenderungan memberontak.

Film pertama diputar pada Desember 1900. Tapi baru 16 tahun kemudian, 18 Maret 1916, Film Ordonanntie dibikin di Indonesia oleh Belanda. Di dalamnya, ada Komisi Penilai Film (KPF). Itulah cikal bakal berdirinya Lembaga Sensor Film (LSF) di masa kini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sistem penyensoran KPF menyontek Amerika Serikat sebagai kiblatnya dunia perfilman sejak lama. AS punya The National Board Cencorship (NBC), yang kemudian namanya berubah-ubah. Itu berdiri sekitar tujuh tahun sebelum Film Ordonanntie diadakan.

Mulanya, NBC menyensor film persis seperti yang dilakukan di Indonesia saat ini. Adegan yang tak sesuai nilai dan berpengaruh buruk dihapuskan dari sebuah karya. Namun dalam perkembangannya, sistem itu berganti menjadi klasifikasi usia.

Di bawah Motion Picture Association of America (MPAA), Hollywood yang merupakan industri film terbesar dunia dan berpusat di AS punya lima klasifikasi usia: G, PG, PG-13, R, dan NC-17.

Sementara Indonesia, meski kemudian ditinggal Belanda dan sempat bergonta-ganti nama lembaga sensornya, tetap mengikuti aturan yang lama hingga saat ini. Hal itulah yang di kemudian hari sering menjadi perdebatan beberapa sineas dalam negeri.

Sejak akhir 1999 dan sepanjang 2000-an, sineas-sineas memberi alternatif sensor berupa klasifikasi usia kepada LSF. Indonesia punya klasifikasi usia, tapi hanya menjadi pertimbangan penyensoran kembali, bukan satu-satunya penyaring konten negatif film.

Sineas berpendapat, lebih baik membiarkan film utuh dan menyaring penontonnya, ketimbang memotong-motong film dan kehilangan ruh cerita.

LSF sempat diguncang isu bubar, apalagi saat belakangan diketahui lembaga itu vakum selama beberapa tahun. Serangan "sensor vs rating" kembali meracau kinerja mereka. Namun akhirnya LSF berganti manajemen dan pucuk kepemimpinan.

Hari ini, Jumat (18/3) LSF pun memeringati 100 tahun sensor di Indonesia. Mengingat pada masanya sensor sejatinya digunakan melindungi masyarakat dari dampak buruk perfilman yang tak sesuai nilai, tema yang diusung tahun ini adalah "Masyarakat Sensor Mandiri Wujudkan Kepribadian Bangsa." (rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER