Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik upaya gigih Soekarno dan Hatta memerdekakan Indonesia yang akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ada jasa Sutan Ibrahim alias Tan Malaka. Pada 1925, ia membuat buku
Naar de Republiek Indonesia.Itu merupakan literatur yang pertama kali mencetuskan tentang konsep negara Indonesia.
Buku yang dihasilkan dari tangan sosok berdarah Minang itulah yang di kemudian hari menjadi inspirasi bagi Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi bagi sebagian kalangan, nama Tan tercoreng oleh "tinta merah." Ia dicap komunis lantaran pernah aktif dalam Partai Komunis Hindia (PKH), bahkan menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karenanya, ia pernah ditangkap oleh negara dan masuk tahanan selama 30 bulan. Pada Februari 1949, Tan ditembak militer dan jenazahnya tak pernah ditemukan hingga kini. Jejak Tan seakan menghilang.
Baru pada 1963 namanya kembali muncul, saat dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Soekarno. Hanya saja, di mata Hendri Teja seorang penulis yang juga berdarah Minang, fakta-fakta tentang kehidupan Tan tetap timbul tenggelam.
"Sejarah adalah pelajaran yang saya sukai, dan yang saya ingat, saya belum pernah menemukan nama itu dalam buku sejarah yang diajarkan kepada saya sejak SD," tuturnya saat ditemui di Jakarta, Sabtu (19/3).
Rasa penasaran terbawa sampai Hendri kuliah. "Saya cari sumber tentang Tan Malaka di perpustakaan kampus pun tidak ada, di perpustakaan daerah juga tidak ada," tuturnya melanjutkan. Saya malah melihat Tan Malaka di sebuah kaos senior saya."
Belakangan Tan memang dianggap sebagai legenda, bagi kalangan aktivis, terutama yang pikirannya terbuka terhadap aliran yang dianggap "kiri."
Kesulitan mencari fakta tentang Tan tidak membuat Hendri putus asa membuat novel tentang idolanya itu. Novel itu diberi judul dari nama sang idola,
TAN."Saya menulis
TAN karena kekaguman saya terhadap sosok Tan Malaka yang saya baca dari bukunya berjudul
Madilog," tutur Hendri menerangkan.
Hendri menulis tentang Tan dengan gaya kontemporer. Bahkan, ia berani membumbui drama kisah percintaan Tan dengan sedikit rekayasa dari imajinasi. Ada secuplik cerita cinta Tan dengan seorang gadis Sunda yang mewarnai buku
TAN.Tapi di luar itu, ia juga mengungkapkan bahwa Tan bersifat minder, pemalu, peragu, juga romantis.
"Saya mencoba membumikan dan memanusiakan seorang Tan Malaka. Maka dari itu, saya memilih menulis dalam bentuk novel, serta saya cantumkan gagasan luar biasa dari dirinya," ujar Hendri.
Intinya, ia ingin menyederhanakan pemikiran Tan yang dianggap melegenda, sekaligus menceritakan bagaimana Tan yang dulunya orang kampung berhasil menorehkan jasa besar bagi Indonesia.
Ia juga berharap novelnya menggerus salah kaprah orang kebanyakan soal komunis. Menurutnya, bangsa Indonesia berutang jasa besar terhadap komunis dalam pencapaian kemerdekaannya.
"Saya harap masyarakat, terutama anak muda, mau membaca buku ini dan memiliki gagasan-gagasan yang dapat memajukan negara Indonesia," katanya.
Hendri tak memungkiri adanya kesalahan-kesalahan fakta dalam bukunya. Salah satunya, pertemuan Tan dengan anggota PKI bernama Alimin. Keduanya bertemu di Guangzhou, China. Namun dalam buku setebal 425 halaman dan berharga Rp75 ribu yang ditulis Hendri, keduanya bertemu di Indonesia.
Ia sudah mendapat banyak komentar dan kritik. Namun kebanyakan memaklumi, karena fakta tentang Tan memang tak banyak ditemukan. Bahkan keponakan Tan yang bernama Zulkifli mendatangi Hendri dan mengungkapkan pihaknya tak keberatan.
(rsa)