Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Untuk pertama kali sejak 1995, pendapatan industri musik mengalami pertumbuhan, pada 2015. Menurut International Federation of Phonographic Industry (IFPI) pemasukan digital—langganan
streaming, mengunduh dan iklan di situs web seperti YouTube—mencapai 45 persen dari total pemasukan di industri musik pada 2015.
Sementara, format musik fisik seperti CD dan vinil hanya 39 persen.
Fakta ini bisa berarti dua. Pertama, penggemar musik kini lebih senang mengoleksi atau mendengar musik dengan format digital. Ke-dua, produsen musik juga semakin mengurangi rilis musik berbentuk fisik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya perubahan format ini bukan hal luar biasa dan selalu terjadi sejalan dengan kemajuan teknologi. Mulai dari format gelombang suara pertama bernama
phonautogram pada 1980 yang berupa analog mekanis di mana gelombang suara direkam di kertas atau gelas. Hingga ditemukan format compact disc atau CD berformat digital, pada 1982.
Di Indonesia, penutupan banyak toko musik seperti Aquarius dan Disc Tarra menunjukkan bahwa rilisan fisik kalah bersaing dengan rilisan digital yang lebih praktis.
Sebenarnya, saya merasa sedih menerima kenyataan itu karena saya tumbuh di era '90-an. Saat itu, rilisan fisik menjadi primadona. Kaset-kaset Phil Collins, Dewa 19, Linkin Park, Slipknot, Metalica, Nirvana, Oasis bahkan Sherina termasuk yang paling sering saya putar.
Akan tetapi, saya juga sadar bahwa memang sudah saatnya kita beralih ke rilisan digital karena memang lebih praktis karena bisa dibeli dari mana saja dan tidak perlu memakan tempat, di dunia nyata, yang besar, hanya tempat di dunia maya yang tidak terlihat secara kasat mata.
Selain itu, harganya pun lebih terjangkau dibandingkan rilisan fisik. Jika tidak ingin membeli satu album, saya bisa membeli beberapa lagu saja. Toh musisi juga tetap mendapatkan keuntungan, walau saya tak membeli satu album utuh.
Lagu-lagu dari musisi kesukaan dapat saya nikmati, tanpa harus pergi ke toko terlebih dahulu. Navicula, Efek Rumah Kaca, Sore dan Banda Neira adalah sejumlah musisi lokal yang karyanya saya beli dalam bentuk digital.
Meski demikian, masih ada sedikit orang yang setia membeli rilisan fisik.
Biasanya mereka pergi ke toko musik atau datang ke acara Record Store Day (RSD) untuk membeli album-album rilisan fisik tersebut entah untuk koleksi atau sekadar bernostalgia dengan format rilisan abad ke-20 itu.
Saat saya melihat mereka berbelanja rilisan fisik di RSD, saya tidak bisa menahan godaan dan membeli CD band indie asal Yogyakarga yang saya gemari seharga Rp50 ribu.
Sesampainya di rumah, saya langsung meng-
import CD itu melalui iTunes agar bisa saya pindahkan ke alat pemutar sehingga bisa didengarkan di mana saja.
Bukannya bahagia, ternyata kecewa yang saya dapat karena lima dari delapan lagu terdengar patah-patah seperti kaset rusak.
Beberapa bulan berikutnya, saya mengalami hal yang sama setelah membeli CD dari band indie asal Jakarta yang kerusakan CD-nya memang sudah terdeteksi saat saya mencoba mendengarkannya di
tape dan
walkman.
Pengalaman ke-dua ini benar-benar membuat saya trauma membeli rilisan fisik. Saya trauma setelah mengeluarkan uang yang sebenarnya bisa saya pakai untuk membeli rilisan digital.
Ini semua hanya karena produksi CD yang bermutu rendah dan tidak menjadi perhatian utama produsennya, dalam hal ini band-band indie tersebut.
Memang ada perbedaan kualitas suara antara musik rilisan CD dan rilisan digital, tetapi faktor lagu yang tersendat-sendat atau CD tidak bisa diputar tidak berhubungan dengan resolusi audio yang digunakan.
Ini sekadar akibat produksi yang buruk dengan mempergunakan kepingan berkualitas rendah sehingga gampang tergores. Mungkin, mereka bertujuan menekan biaya produksi agar bisa menekan harga untuk bisa bersaing dengan musik rilisan digital.
Saya berharap produsen musik ataupun band-band indie memperhatikan kualitas rilis fisik mereka, karena seideal apa pun rilisan digital, penggemar musik seperti saya dan lainnya tidak akan pernah kapok mengapresiasi musisi dengan membeli rilisan fisiknya.
(yns)