Tarik Ulur Iklan Rokok di Indonesia

Rizky Sekar Afrisia, Endro Priherdityo, & Munaya Nasiri | CNN Indonesia
Selasa, 31 Mei 2016 19:35 WIB
Selama rokok masih ada dan dilegalkan, maka produk itu pun masih halal diiklankan.
Ilustrasi Rokok (REUTERS/Petr Josek)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak 1930-an, iklan rokok sudah bisa ditemukan di Indonesia. Produknya jelas ditampilkan. Modelnya pun bukan hanya lelaki. Rokok kretek cap Doro misalnya, menampilkan lelaki dan perempuan pribumi tengah bercengkerama sembari memegang rokok.

Iklan rokok Marikangen dari Surakarta bahkan menjadikan perempuan berkebaya sebagai ikonnya. Di iklan-iklannya, perempuan itu santai mengisap rokok.

Hingga kini, berharap Indonesia bebas iklan rokok adalah sesuatu yang utopis. Praktisi periklanan Hery Margono mengatakan, selama rokok masih ada dan dilegalkan, maka produk itu pun masih halal diiklankan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sesuai pasal 28F UUD 1945, semua rakyat Indonesia berhak mendapat informasi. Kalau dilarang total berarti melanggar UU itu," kata Hery saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Lain cerita jika rokok dinyatakan sebagai barang ilegal. "Kalau begitu, baru tidak boleh beriklan sekalian."

Yang bisa dilakukan untuk mengurangi keinginan masyarakat membeli rokok adalah pembatasan. Yang diatur pemerintah Indonesia sekarang, dengan membatasi tayangan iklan rokok di televisi pukul 21.30 sampai 05.00, dirasa Hery sudah cukup.

Tapi, masyarakat butuh informasi seimbang. "Katakanlah iklannya satu menit; 30 detik itu iklan rokoknya, 30 detik lagi iklan bahaya rokok. Itu baru fair," tutur Hery. Selama ini ia melihat peringatan bahaya rokok masih 10 persen. "Itu masih kecil sekali."

Hery mengakui, menegakkan aturan keseimbangan informasi itu pasti susah. Akan ada banyak perusahaan rokok yang menolak. Tapi ia menuturkan, promosi produk rokok bukan hanya bisa dengan iklan saja.

"Bisa lewat sales promotion, bisa lewat public relations. Pembatasan itu hanya untuk iklan, personal selling-nya masih bisa," ujar sosok yang juga dosen periklanan itu.

Yang kini banyak dilakukan perusahaan rokok adalah "berpromosi" melalui corporate social responsibility (CSR) maupun iklan layanan masyarakat. Tapi Hery mewanti-wanti, itu harus dilakukan atas nama perusahaan, bukan demi kepentingan produk rokoknya.

"Yang menjadi masalah itu ketika nama perusahaannya sama dengan nama merk rokok," kata Hery. Itu bahkan masih menjadi perdebatan di kalangan periklanan. Bukan tidak mungkin suatu kegiatan, yang disponsori perusahaan rokok sebagai bentuk CSR mereka, diiklankan sebelum pukul 21.30.

"Implementasinya gagal di situ. Semestinya iklan-iklan rokok enggak boleh, walaupun untuk sponsor."

CSR yang dilakukan perusahaan-perusahaan rokok juga masih ambigu. Ketika di olahraga sudah dibatasi, banyak perusahaan yang merasuk ke CSR di bidang sosial dan budaya. Hery pun masih mempertanyakan upaya itu.

"Itu masuk kategori iklan atau enggak? Kalau iklan enggak boleh, tapi kalau produk PR boleh," katanya. Lebih jauh ia menjelaskan, perusahaan rokok boleh mensponsori suatu kegiatan, asal kegiatan itu tidak diiklankan di televisi atau lainnya.

Diwawancara di kesempatan yang berbeda Renita Sari Program Director Seni Budaya Djarum Foundation menegaskan, ia banyak mengangkat seni budaya sejatinya untuk membuat masyarakat Indonesia lebih bangga.

"Djarum itu memang produsen rokok, usaha ekonominya rokok. Tapi semua program kami tidak ada yang diasosiasikan dengan produk. Bisa dilihat tidak ada sampling apa pun, karena kami murni membantu," ujarnya.

Nama yang sama hanya kebetulan. Pun karena sama-sama didanai pemilik Djarum. "Mereka punya hak untuk menggunakan nama di yayasan ini."

Di pihak lain, Hery mengatakan sebenarnya penjualan rokok tidak perlu terlalu hard selling. Sebaliknya, soft selling justru berdampak lebih bagus. Asal pendekatannya halus.

"Orang justru akan lebih loyal," kaanya. Meski tidak langsung menuai hasil, mungkin konsumen tidak langsung membeli, di kemudian hari ia akan membelinya karena sudah tahu produknya. Sementara hard selling, bisa jadi langsung dibeli, tapi sulit membuat orang setia pada produk itu.

"Dengan soft selling, orang akan simpati pada rokok itu," ujar Hery. Penggunaannya pun jadi lebih lama.

Tapi di sisi lain, penjualan secara soft selling juga akan mengurangi jumlah perokok. Mereka yang memang tertarik pada produknya bisa jadi membeli. Tapi mereka yang memang tidak mencari tidak akan "tergoda."

(rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER